Iptu Park dan beberapa rekannya dari kepolisian dan tim forensik memeriksa tempat kejadian perkara, dan yang paling membuat Iptu Park merasa tertarik adalah sebarisan botol kaca hitam yang dilabeli ‘HELLLO?’ dengan angka romawi yang berbeda-beda di bawahnya. Iptu Park memikirkan botol-botol itu cukup lama.
“Suntikan dan obat yang digunakan untuk membunuh para korban juga ditemukan di sini.” Iptu Joo memberi tahu setelah berkeliling.
“Sepertinya dia juga menyelundupkan narkoba dan ‘minuman’ dari luar.” Ini adalah kesimpulan sementara Iptu Park mengenai botol-botol kaca tadi.
Iptu Joo mengamati botol-botol kaca itu. “Di sini ada nama situs web itu. Kau benar-benar menangkap Seol Jiwon berdasarkan situs web itu?”
Iptu Park menggeleng. Meski tidak yakin, dia, “Ada seorang informan yang memberitahuku,” begitu katanya, dan informan itu mengatakan bahwa dirinya adalah Lee Doyeon yang tidak dibunuh oleh suaminya.
“Informan itu mengatakan sesuatu tentang darah korban yang kita temukan di sekop milik Tersangka, sedangkan informasi itu tidak pernah kita publikasikan. Itulah yang membuatku penasaran. Dan katanya, Pelaku mengoleksi darah para korban di tempat ini, dan … darah itu benar-benar ada di sini.” Iptu Park bisa melihatnya dari luar botol-botol kaca hitam ini.
“Wah, orang ini benar-benar setan. Bagaimana bisa dia mengoleksi darah korban dengan memasukkannya ke botol anggur seperti ini? Ckckckck.” Iptu Joo jijik dekat-dekat dengan botol-botol itu.
“Tapi, ngomong-ngomong, informan itu sebenarnya siapa ya?” pikir Iptu Joo, kemudian, dan itu pulalah yang membuat Iptu Park bingung—karena tidak mungkin informan itu adalah benar-benar Mendiang Lee Doyeon. Ini ANEH sekali.
Sementara itu, Gu Chanseong—pelaku dari keanehan tersebut—sedang diceramahi oleh Jang Manwol. “Kau tidak boleh sembarangan meminjamkan tubuhku pada hantu begitu. Berjanji! Lain kali, kau TIDAK AKAN melakukan itu lagi kalau tidak sedang bersamaku.” Manwol berceramah sambil sibuk mengemas banyak barang ke dalam sebuah tas kertas merah yang cukup besar di meja—selain dua kantong plastik obat-obatan tadi.
“Hantu itu hanya menelepon polisi dan mencari barang bukti. Dia tidak melakukan apa pun yang membahayakanku.”
Yah, untunglah hantu itu tidak memiliki niatan lain. Manwol menghela dan sudah selesai mengemas barang. “Bawa pulang tuh. Hari ini kau pulang saja dan istirahat,” begitu katanya, sambil mundur lebih jauh ke sofa.
“Wah, bawaanku semakin banyak saja nih, selain dua tas obat. Ini apa?” tanya Chanseong, setelah sedikit mengintip isi tas kertas merah Manwol.
“Massager,” jawab Manwol, mengherankan. “Sebelum tidur, kau tempelkan alatnya di sini, supaya lehermu gak pegal pas bangun nanti. Terus, di sini juga ada masker mata, sampanye satu botol, dan—Oh iya, kaviar! Ini mahal banget lho? Jangan langsung dihabiskan.”
“Oh. Aku merasa tersanjung nih, diberi barang-barang yang berharga banget begini oleh Anda.” Chanseong berterbang hingga ke atap Del Luna.
Manwol menyombong. Lalu katanya, “Karena bawaanmu banyak, kau pulang naik—Tidak deh, ambil saja mobilku, satu. Kuberikan untukmu.”
“Benarkah? Kalau begitu, yang merah. Aku boleh ambil mobil yang merah, kan?” Chanseong ANTUSIAS sekali, mendapatkan kesempatan yang bagus ini, dan Manwol gelagapan karenanya.
“Hah? Hoh? Me-me-me-merah kan kamu gak suka.”
“Suka kok.”
“Oh, suka? Oh. Yah, kalau gitu … kau ambil saja yang merah, meskipun … yang merah cuma ada satu, yah. Ambil saja. Ini kuncinya.” Jari-jari Manwol mengendap-endap meraih salah satu dari tiga kunci mobil yang ada, dan kunci mobil yang diaberikan pada Chanseong itu bukan kunci mobil yang berwarna merah, dan Chanseong TAHU itu—entah bagaimana.
“Kuncinya kan bukan yang ini. Yang itu tuh, yang itu.” Chanseong menunjuk kunci yang benar, dengan pura-pura ngambek dan semacamnya. Terpaksa, karena Chanseong tahu, Manwol melepaskan kunci tersebut.
Chanseong bercengir. “Ouh. Ternyata hampir mati itu enak, ya? Sudahlah, aku ambil yang ini saja,” katanya, sambil mengacungkan kunci mobil yang salah tadi.
“Kau ini apa-apaan sih?!”
“Aku hanya menguji. Mobil merah atau aku, dan ternyata aku yang menang. Hehehe.” Chanseong girang atas kemenangannya yang terkesan seenaknya itu dan—
“Heh, kalau sama mobil warna tinja, kau pasti kalah!”
“Aku tahu, kok, kalau mobil kesayangan Anda itu yang warna merah. Kalau yang warna merah saja kalah, berarti yang lain juga kalah. Dan aku yang menang.” Chanseong angkat-angkat dagu tak terkalahkan.
“Kau itu licik juga, ya, rupanya? Kobra Harvard, kau, huh?” Manwol mengumpat seenaknya, dan melotot galak sambil bersedekap.
“Sepertinya, untuk sementara ini, aku harus sering bolak-balik kantor polisi. Dan untuk memberi Iptu Park kesaksian tentang kasus ini tanpa menyertakan hantu, aku harus BENAR-BENAR menjadi Kobra Harvard.” Chanseong harus berusaha dan SANGAT berhati-hati.
“Yeonwoo pasti sangat kebingungan, karena sudah dua kali menerima laporan dari hantu.” Chanseong setuju pendapat Manwol yang ini. “Dia itu kelihatannya saja pemberani, tapi sebenarnya penakut terutama pada hal-hal yang berbau hantu.”
“Yeonwoo orang yang seperti itu? Anda mengenalnya sejak kecil ya?”
“Ibunya Yeonwoo membesarkanku,” dan Manwol sangat berterima kasih mengenai itu. Katanya, “Waktu aku masih sangat kecil, aku pernah hampir mati di tengah hutan. Lalu ada seorang pedagang yang menolongku, dan akhirnya ibunya Yeonwoo bersedia menerimaku.” Manwol masih ingat peristiwa itu, meski tidak begitu jelas karena sudah sangat lama.
Chanseong terus mendengarkan.
“Tapi beliau tidak hidup lama setelah itu. Lalu aku dan Yeonwoo bergiliran jadi kakak dan adik. Hmh. Yeonwoo itu sangat terampil. Dia sering membuatkan pakaian juga untukku,” dan Manwol selalu menyukai pakaian-pakaian itu.
“Sekarang, dia juga sangat terampil, dalam bidangnya sebagai polisi.” Chanseong memberi tahu Manwol, sambil tersenyum, dan berharap itu akan sedikit mengobati rasa rindunya terhadap keluarganya itu.
“Sepertinya baru kali ini aku menceritakan hal-hal seperti ini padamu.”
“Yah, mungkin karena—bunganya bermekaran,” dan “Karena bunganya bermekaran,” Chanseong dan Manwol sama-sama terdiam seketika. Mereka mengatakan hal yang sama bersamaan dan saling canggung karenanya. Satu, dua, tiga, dan empat detik berlalu, dan akhirnya Chanseong memutuskan untuk pergi demi mengakhiri kecanggungan ini. Dia melupakan tas-tasnya saking canggungnya, dan Manwol tak bisa mengingatkannya mengenai itu—saking canggungnya pula.
Chanseong meragu di lobi utama—sementara Manwol tersipu di ruangannya. Apakah dia telah salah langkah? Benarkah tidak apa-apa jika dirinya melangkah sejauh ini? Chanseong takut, dirinya malah melakukan kesalahan. Kemudian, bisakah dia menjalankan tugas utamanya nanti jika begini? Ah, ini sangat berat dan sulit—begitu juga untuk Manwol.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOTEL DEL LUNA
FanfictionNovelisasi dari drama Korea yang ditulis oleh Hong Jeongeun dan Hong Miran, penulis drama HWAYUGI dan MY GIRLFRIEND IS A GUMIHO. Del Luna adalah hotel untuk para arwah yang tersesat dan masih memiliki pengharapan atas dunia manusia. Hotel ini membe...