Kim Yuna dan Ji Hyunjung membawa anak laki-laki, yang datang ke Del Luna tadi, ke rumah sakit dan menghubungi ayahnya. Ketika sang ayah datang, Yuna menjelaskan bahwa, “Saya melihat adik ini tertidur di bus. Karena demam, kami membawanya ke sini. Tapi sekarang demamnya sudah turun setelah minum obat di jalan tadi.”
“Terima kasih banyak, Dik,” ucap Sang Ayah, pada Kim Yuna, dan, “Kau ini pergi ke mana tadi?!” cemasnya, pada sang anak.
“Aku ke hotel naik bus,” kata Anak Laki-laki, polos. Kim Yuna langsung nyengir dan bergumam kalau anak itu pasti bermimpi.
“Aku ke sana nyari Mama, tapi kata Om Hotelnya bilang Mama gak di sana.”
Sang Ayah langsung memeluk putranya. “Kalau kau sudah besar nanti, Ayah akan beri tahu Mamamu ada di mana dan kenapa di sana. Ya?”
“Hm.”
“Maafkan Ayah ya?”
Ji Hyunjung dan Yuna juga merasa sedih karena hal yang kurang-lebih sama. Setelah berpisah dari ayah dan anak itu, sebelum masing-masing pulang, mereka duduk-duduk sebentar di lobi rumah sakit, dan Yuna bertanya-tanya, “Setelah diberi tahu nanti, karena diberitahunya belakangan, apakah anak itu jadi tidak akan terlalu sedih? Walau bagaimanapun kan dia tidak bisa bertemu lagi dengan ibunya.”
Itu pulalah yang Ji Hyunjung khawatirkan. Kalau Yuna tahu dirinya suatu saat nanti akan pergi, cepat atau lambat, sekarang atau nanti, apakah Kim Yuna akan bisa bertahan? Bagaimana Ji Hyunjung harus memberitahunya tentang itu?
“Yuna-ya, begini,” Ji Hyunjung memberanikan diri bicara, tapi—
“Kalau kau kembali ke hotel sekarang, Bu Direktur pasti akan memarahimu. Kita jalan-jalan dulu saja yuk? Menurut pengalamanku, dimarahi belakangan itu akan lebih cepat selesai. Jadi, kita jalan-jalan dulu saja. Tapi kau tunggu di sini sebentar ya, aku mau ke toilet dulu?” Yuna langsung berdiri dan pergi sebelum Ji Hyunjung sempat mengatakan apa pun. Ah, padahal sulit sekali untuk menemukan waktu yang cukup tepat untuk bicara seperti sekarang. Tapi, ya sudahlah, Ji Hyunjung akan mencari waktu lain saja.
Dalam perjalanan menuju toilet, Yuna berbelok karena mendengar lantunan piano yang dia kenal. Itu adalah lagu yang tempo hari Ji Hyunjung mainkan di ruang musik sekolah, dan lagu itu—kata Ji Hyunjung—adalah kesukaan Hyunmi, adiknya. Dan orang yang sedang mendengarkan lagu itu sekarang adalah Ji Hyunmi, adik Ji Hyunjung. Dia nampak begitu senang mendengarkan lagu itu, sampai mendekap ponsel yang memutar lagu tersebut dengan terpejam-pejam.
Kim Yuna menghampiri. “Maaf, permisi. Nenek menyukai lagu itu ya?” tanyanya, diam-diam senang.
“Ya.” Hyunmi terus mendekap ponsel.
“Adik teman saya—Eh, neneknya, maksud saya, mirip sekali dengan Nenek. Bolehkah saya merekam Nenek untuknya?”
“Hmh. Iya.” Sebenarnya Ji Hyunmi tidak peduli pada apa pun, karena dia sedang sangat menikmati lagu kesukaannya itu. Dia tidak peduli Yuna mau memotret ataupun merekam dirinya.
Selagi merekam, Yuna bertanya, “Maaf, apakah Nenek ingat nama kakak Nenek?”
“Ya. Kakakku itu namanya … Ji Hyunjung.”
“Nenek masih ingat Ji Hyunjung rupanya?!” Kim Yuna senang sekali mengetahuinya, dan lebih senang lagi karena dia berhasil merekam itu di ponselnya. Ji Hyunjung pasti sangat senang kalau melihat ini nanti.
Kemudian Ji Hyunjung lain datang—yang adalah kakak Ji Hyunmi sekarang. Dia menegur Yuna, “Dik, kau sedang apa?”
“Kakak!” seru Hyunmi, senang.
“Oh? Kau sedang mendengarkan musik ya?”
Yuna merasa aneh melihat pemandangan ini. “Kakek bukankah … Kakek Ji Hyunjung yang mendirikan rumah sakit ini?”
“Ya. Oh? Kau putrinya Direktur Kim yang tempo hari dirawat di sini ya?” Kakek Ji ingat siapa Kim Yuna, sambil terus memperhatikan adiknya dan memegangi ponsel yang masih memutar lagu.
“Tapi kenapa Kakek adalah … Ji Hyunjung kakaknya nenek ini? Ji Hyunjung kakaknya nenek ini kan sudah lama meninggal.”
BRUK. Kakek Ji menjatuhkan ponsel saking kagetnya. Bagaimana anak itu bisa tahu? Tapi dia langsung tersadar dari kekagetannya itu karena Hyunmi memanggil-manggil dan mencari-cari kakaknya akibat suara ponsel jatuh tadi. Kakek Ji pun menenangkan Hyunmi dengan segera.
Selagi Kakek Ji memungut ponsel, Ji Hyunjung menarik pergi Yuna dari tempat ini, dan membawanya keluar hingga ke halaman depan rumah sakit. Dia marah-marah, “Aku kan sudah bilang, kau tidak boleh mendekati Hyunmi.”
“Kematianmu ada hubungannya, ya, dengan kakek itu? Kakek itu mengambil semua milikmu dan hidup sebagai kau di dunia ini.”
“Itu bukan urusanmu.” Ji Hyunjung menutup mulut.
“Jadi karena itu kau tidak bisa pergi ke Alam Baka? Kau tidak rela karena kehidupanmu diambil oleh orang lain.” Yuna merasa kasihan pada Ji Hyunjung.
“Tidak apa-apa. Biarkan saja.”
“Mana bisa begitu? Dia mengambil kehidupanmu!”
“Memangnya kenapa?! Lagi pula aku juga sudah mati. Kau juga hidup dengan cara itu, kan, sekarang.” Ji Hyunjung segera menyadari kesalahannya begitu selesai bicara. Tidak seharusnya dia berkata begitu pada Kim Yuna.
Yuna menghela. “Ya. Aku juga … bertahan hidup dengan mengambil kehidupan orang lain. Aku tidak pantas menghakimi kakek itu.”
“Yuna-ya, bukan begitu—”
“Aku tidak akan ikut campur lagi,” lalu Yuna pergi begitu saja meninggalkan Ji Hyunjung.
Ah, Ji Hyunjung harus segera memperbaiki ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOTEL DEL LUNA
FanfictionNovelisasi dari drama Korea yang ditulis oleh Hong Jeongeun dan Hong Miran, penulis drama HWAYUGI dan MY GIRLFRIEND IS A GUMIHO. Del Luna adalah hotel untuk para arwah yang tersesat dan masih memiliki pengharapan atas dunia manusia. Hotel ini membe...