78. TT

53 8 2
                                    

Beberapa saat sebelumnya...

Yaya mengabsen orang-orangnya yang ada di kelas untuk menjalankan amanah piket. Keningnya mulai mengerut saat melihat seseorang yang terburu-buru keluar kelas setelah menyelesaikan bagiannya.

Yaya menaruh penghapus papan tulis di tempatnya, lalu keluar kelas untuk menemuikan Jaehyun yang tengah mengepel lantai.

"Jae," panggil Yaya.

Jaehyun mendengarnya, tapi tidak berhenti mengepel untuk menoleh pada Yaya. Dengan fokus yang terbagi, Jaehyun membalas panggilan Yaya. "Kenapa?"

"Barusan Taeyong ke mana, ya?"

"Tadi sih keluar sama Haechan, diliat dari arah beloknya, ke kantin, sih." Jaehyun menjawab seadanya. "Kenapa emangnya?"

"Gue ada perlu sama dia."

Jaehyun mengangguk-angguk. "Oh. Oke."

"Makasih ya Je," kata Yaya, lalu masuk kembali ke kelas untuk menyelesaikan tugasnya piketnya yang baru terlaksana separuh.

***

Saat ini....

Sebenernya, berurusan dengan Taeil adalah hal terakhir yang ingin Taeyong lakukan di sekolah ini.

Tahun lalu, di mana Taeil dan dirinya terlibat insiden yang tak menyenangkan membuat Taeyong merasa agak tak nyaman untuk menemuinya lagi. Hubungan mereka tidak buruk, tapi juga tidak bisa dikatakan baik-baik saja.

Sekarang, Taeyong terpaksa menemuinya lagi.

"Bang," sapa Taeyong saat melihat Taeil baru saja keluar dari kelasnya. Ada beberapa ada di belakangnya, sudah memasang wajah tak suka dan terganggu. Namun, Taeyong bersikap santai dan tenang dengan senyuman kecil di wajahnya. "Sore, Bang."

Kening Taeil langsung mengerut tak suka. Kedatangan Taeyong berserta teman-temannya, juga Haechan, memperkeruh suasana hatinya setelah beberapa saat yang lalu ia gagal memenuhi KKM di evaluasi mingguan pelajaran Bahasa Inggris.

"Ada apaan nih?" tanya Taeil tak senang.

Taeyong merubah ekspresi wajahnya. Matanya seperti elang dan hampir tak berkedip. "Kita harus diskusi. Empat mata, Bang."

"Kalau bahasannya kagak penting, gue kasih lo pelajaran ya, Yong." Taeil berdecak seraya kembali lagi ke kelas setelah mengisyaratkan Taeyong untuk mengikutinya seorang diri.

"Oke, Bang." Taeyong mengangguk dan ikut ke dalam kelas setelah mengangguk pada Doyoung, memberi isyarat agar tetap waspada.

Setelahnya, pintu kelas itu ditutup. Meski begitu, orang di luar, Doyoung, Haechan serta yang lainnya dapat mendengar suara Taeyong dan Taeil di sana.

"Lah kenapa nggak langsung hajar? Padahal udah bawa banyak pasukan," heran Haechan pada Doyoung..

"Udahlah lo diem aja. Di sini ketuanya Taeyong, apapun keputusan yang dia ambil sendiri, biasanya dia yang tanggung sendiri."

Dengan begitu, Haechan tak bisa mendebat.

Sementara itu, Taeyong dan Taeil segera duduk berhadapan untuk membahas sesuatu. Suara Taeyong yang lantang membuat pembacaan ini bukan hanya empat mata, tapi puluhan pasang telinga.

Bahkan ada dua orang asing yang turut menguping secara tak sengaja.

"Ini masalah temen gue, Bang," kata Taeyong langsung pada intinya.

Taeil tersenyum miring. "Oh yang di sebelah kanan lo tadi."

"Itu hafal." Taeyong berdecak kecil.

"Dia ngambil Xaxa gue," tegas Taeil.

"Xaxa punya temen gue, Bang." Taeyong mendebat. "Mereka udah pacaran."

Taeil memutar bola matanya dengan jengah.

"Gue mohon lah, Bang, jangan ganggu mereka," lanjut Taeyong dengan suara memelas. Meski begitu, aura tajam laki-laki itu tak pernah pudar.

Taeil berdiri dan menatap Taeyong dengan datar. "Kalau nggak ada bahasan lebih penting lagi, gue balik, Yong."

"Bang, cinta itu nggak bisa dipaksakan, Bang." Taeyong memberi pernyataan yang membuat langkah Taeil berhenti. "Mau lo jungkir balik di gunung Alpen juga, kalau Xaxa nggak cinta, ya, bahagia nggak bakal tercipta."

"Bisa aja lo." Taeil menoleh pada Taeyong dengan senyuman miring andalannya, meremehkan perkataan Taeyong. "Diangkat jadi anak Mario Teguh nih ceritanya?"

"Bukan gitu juga, sih," balas Taeyong seraya meringis, sedikit ragu. Namun, akhirnya ia menatap Taeil dengan mantap. "Di kelas gue ada cewek yang gue suka, Bang."

"Hm?" Satu alis Taeil terangkat.

"Namanya Yaya." Taeyong membalas hampa tanggung-tanggung. Rahasia sakral yang seharusnya tak pernah terbongkar ke permukaan akhirnya Taeyong beberkan. "Anaknya lucu, cantik, sempurna di mata gue. Tapi, sayang banget dia suka sama orang lain. Gue sakit, tapi kalau liat dia bahagia sama yang lain, kenapa gue harus merusaknya?"

"Gue cuma berusaha, Yong." Taeil tetap tak mau menerima. "Gue berusaha buat--"

"Masalahnya Xaxa nggak mau diperjuangkan sama lo, Bang." Taeyong sedikit menggertak. "Sadar diri dikit lah."

"Ck." Taeil mulai merasa tersentil.

Taeyong membuang napas kecil, lalu menunduk dengan lesu. "Gue juga gitu soalnya."

Pemilik sepasang telinga yang tak sengaja menguping di ujung sana langsung membulatkan matanya. Ia menutup mulutnya yang terbuka amat lebar karena amat terkejut. Sementara orang di sampingnya, menatapnya dengan polos.

Kembali pada Taeil, kini laki-laki terlihat sedikit menimang-nimang perkataan Taeyong yang diutarakan penuh putus asa itu.

"Gue bakal pikir-pikir dulu." Taeil akhirnya memberikan keputusan akhir. "Besok gue kasih jawabannya. Lo datang ke gedung serbaguna sekolah, sendiri. Kita bicara empat mata."

Taeyong mengangguk puas. "Oke, Bang."

***

Eiyo wuusep brother

23102020

11 IPA 4 • NCT 127 X WAYVTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang