65. Dari Taeyong
---
"Udah pulang, Nak?" Ibu menyapa begitu Jaehyun masuk ke rumah. Ibu yang tengah menyelesaikan rajutannya di kursi ruang tengah itu membulatkan matanya begitu melihat dandanan Jaehyun.
Anak satu-satunya yang awalnya izin keluar untuk membeli buku tulis dan alat tulis dengan balutan kaos oblong dan celana training usang itu tahu-tahu kembali dalam balutan suit keren yang bahkan membuat Ibu heran Jaehyun ini benar anak-anak atau bukan.
"Kok kamu jadi ganteng?" tanya Ibu heran, kini sudah berdiri dan mendekatkan diri. Tangannya memegang seluruh badan Jaehyun, memeriksa apakah Jaehyun yang berada di depannya adalah Jaehyun-nya. Setelah dilihat ada tanda lahir di sikut kanannya, Ibu baru lega. "Kamu sebenarnya dari mana, Nak?"
Jaehyun memejamkan matanya. Ia menarik napas kecil, lalu membuangnya. Setelah itu, Jaehyun menunjukkan kantong plastik yang berisi peralatan yang dibelinya di toko buku pada Ibu yang selama ini memberatkannya dengan tulus hati, pada Ibu yang tak pernah Jaehyun bohongi selama tujuh belas tahun terakhir ini.
"Jaehyun abis beli buku sama balpen, Bu," kata Jaehyun menjelaskan. Ada senyum di wajahnya, senyum kikuk yang menyembunyikan kebohongannya. "Tadi di toko buku ketemu sama temen, terus diajak belanja. Temen Jaehyun maksa banget beliin Jaehyun baju, jadi sekarang dipake sampai rumah."
"Oh, begitu," tukas Ibu paham. Ia menganguk-angguk. "Baik banget temen kamu itu."
"Emang, Bu." Jaehyun tersenyum saja. Entah mengapa, semakin ke sini, berbohong semakin ringan untuk ia lakukan. "Jaehyun punya dua temen baik yang kaya raya."
"Siapa namanya?" Ibu tampak senang mendengarnya.
"Taeyong sama Doyoung, Bu."
"Lain kali ajak main ke sini. Biar Ibu traktir bubur yang enak."
"Iya, Bu."
"Yaudah, sana kami tidur. Udah jam sembilan lebih tuh, takutnya besok nggak bangun tepat waktu."
Jaehyun mengangguk. "Iya. Ibu juga. Jangan lupa tidur sepuluh menit lagi."
"Iya."
Jaehyun berjalan ke arah kamarnya. Ada awan hitam di dadanya saat ia menatap wajahnya di cermin. Betapa berdosanya ia karena berani berbohong pada orang tua. Terlebih lagi pada Ibu.
Di atas sana, Ayah pasti sangat kecewa.
***
"Doy, ada berita gawat," kata Taeyong begitu melihat Doyoung masuk ke kelas.
Doyoung membuang napas lelah seraya duduk di kursinya. Ia melepas tasnya dan menatap Taeyong dengan malas. "Bisa kasih gue space bentar? Gue baru aja datang, Yong."
"Lebay banget lo. Gue aja kuat jalan dari parkiran ke jelas. Masa lo yang sehat-sehat aja sampai butuh space?"
"Oke, oke." Doyoung paham bahwa tak ada orang sekeras kepala Taeyong, maka dari itu ia tersenyum segaris. "Jadi, berita gawatnya apa?"
"Gila aja." Taeyong memutar bola matanya sebelum mengatakan apa yang membuat grupchat keluarga besarnya pagi ini heboh. "Si Shapira itu mau pindah ke sekolah ini besok!"
Mata Doyoung langsung membulat. "Kok bisa?!"
"Ya kalau gue tau, langsung gue kasih tau ke lo, lah," Balas Taeyong. "Ini anak emang udah agak geser otaknya. Nggak ngerti lagi gue."
"Terus ortunya Shapira ngizinin?"
"Ya, anak satu-satunya masa dianggurin. Itu anak ngancam nggak bakal makan satu Minggu kalau kemauannya nggak dikabulin."
"Terus gimana, nih? Gue rasa, kalau lo Sama Shapira satu sekolah lagi, setiap hari pasti ada perang." Doyoung ogah banget harus jadi penengah jika Taeyong dan Shapira sudah perang. Selama menjadi ajudan Taeyong, Doyoung hafal sekali dua sepupu yang sama keras kepalanya itu tak pernah mau berdamai.
Taeyong mengedikkan bahunya. "Semoga kagak satu kelas aja. Amit-amit dah kalau gue liat mukanya seharian."
"Ini namanya bencana, Yong."
"Jelas!" Taeyong berseru setuju. "Itu anak rempongnya gakuna. Gue yakin dia ambil pasukan banyak-banyak di hari pertama sekolah."
Doyoung memperagakan gerakan muntah saat membayangkan akan seheboh apa jika ada Shapira di sekolah ini, apalagi di kelas yang sama.
"Oh, Jaehyun!" seru Taeyong saat melihat Jaehyun masuk ke kelas dengan mulut yang sibuk komat-kamit. Selama menjadi chairmate-nya Jaehyun, Taeyong hafal Jaehyun sedang menghafal Asmaul Husna beserta artinya.
Ah, mungkin sekarang bukan menghafal, tapi melafalkan.
Jaehyun hanya tersenyum tipis pada Taeyong, lalu duduk dan diam dengan damai.
Taeyong kembali menatap Doyoung setelah memerhatikan gerak-gerik Jaehyun. "Ini anak nggak seru abis. Hidupnya kayak sapu lidi. Lurus-lurus aja."
"Ya, bagus gitu. Daripada belibet kayak lo." Doyoung menukas agak sarkas.
"Ya kan gue lebih suka keributan daripada keheningan."
Doyoung menganguk-angguk. "Jangan ngeluh kalau nanti lo sama Shapira akhirnya sekelas dan setiap hari ribut."
Taeyong memutarkan bola matanya, merasa tak seru jika membobol dengan Doyoung. Taeyong beralih pada Jaehyun, menepuk dua kali pundaknya. Jaehyun segera menaikkan alisnya, mengisyaratkan tanda tanya.
"Makasih ya buat tadi malem. Lo bikin gue menang dari Shapira. Nggak kebayang malunya gue kalau lo nggak datang." Taeyong berkata pelan, masalahnya ini tak ada hubungannya dengan orang lain selain dirinya, Doyoung dan Jaehyun. "Maaf juga karena maksa-maksa lo. Ini, gue punya sesuatu buat lo."
Jaehyun mengerutkan keningnya saat melihat sebuah amplop yang disodorkan Taeyong.
"Ambil aja." Taeyong mengambil tangan Jaehyun dan menaruh amplop itu di atas tangannya. "Gue nggak pernah manfaatin lo secara cuma-cuma, karena di dunia ini nggak ada yang gratis. You got it?"
Jaehyun melihat isi amplop itu dan tak pernah berhenti memikirkannya seharian. Jaehyun berkali-kali berusaha untuk mengembalikannya pada Taeyong, tapi Taeyong selalu memelototinya agar tak melakukan itu lagi dan lagi.
Akhirnya, Jaehyun menerima sebuah cek dengan nominal uang yang bisa memberangkatkannya Ibu serta dirinya naik haji dalam semalam.
Ah, tidak. Jaehyun mendapatkannya hanya dalam dua puluh menit pada malam itu.
***
Akankah Jaehyun bersama Ibunya naik haji besok???
Thu 1 Oct 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
11 IPA 4 • NCT 127 X WAYV
Fanfiction--- Ini kisah kelas XI IPA 4 yang merupakan kelas biasa-biasa saja. Sampai mereka semakin dekat, semakin berselisih, saling bersaing, merebutkan perempuan yang sama dan sakit hati. Ini hanya kisah remaja biasa. Tentang jatuh cinta dan patah hati...