93. Kalau Jadi Pacar, Cocok Nggak?

52 9 3
                                    

Hari ini berjalan seperti biasa. Sepulang sekolah, Xaxa tak sengaja melihat ke arah meja Hendery. Laki-laki itu sangat rajin. Selalu pulang paling akhir dan kadang mengganggu petugas piket.

"Liat Hendery berusaha banget, gue merasa bersalah," curhat Xaxa saat dalam perjalanan pulang bersama Xaxa. Ada Jungwoo juga di samping mereka.

Haechan sendiri ada latihan sampai sore dengan pelatih, sekaligus evaluasi bulanan yang kemungkinan besar membuat Haechan pulang lebih terlambat. Jadi, laki-laki itu meminta Xaxa untuk tak menunggunya.

"Bersalah kenapa?" tanya Yaya tak paham.

"Nggak tau." Xaxa mengangkat kedua bahunya dengan lesu, lalu membuang napas panjang sekali. "Padahal nggak pasti juga gue yang kepilih. Taeyong yang tentuin soalnya."

Yaya menipiskan bibirnya. Ia tak suka melihat teman sebangkunya itu sedih. Yaya menimang agak lama, sampai akhirnya mengangguk dengan penuh keyakinan.

"Kalau lo mau banget kepilih, gue bisa kasih tau Taeyong," saran Yaya kemudian.

Xaxa menoleh dengan mata yang mulai menunjukkan binar semangatnya. "Emang Taeyong bakal dengerin?"

Yaya ikut tersenyum karena Xaxa mulai semangat. "Pastinya dong! Dia kan--"

Yaya hampir saja keceplosan. Malu sekali kalau Yaya mengakui bahwa Taeyong menyukai dirinya pada Xaxa. Mau ditaruh di mana wajah Yaya kalau Xaxa tahu hal itu.

Baru-baru ini Yaya sendiri bimbang dengan perasaannya, sementara Xaxa telah berusaha menjadi makcomblang antara dirinya dan Mark.

"Dia kenapa?" tanya Xaxa bingung.

"Ah, nggak." Yaya cepat-cepat mengendalikan air mukanya. Ia menatap Xaxa tepat di mata, meyakinkan. "Pokoknya Taeyong pasti dengerinnya gue, soalnya kan gue pinter nego!"

Mata Xaxa benar-benar berbinar-binar. "Oh, ya?! Boleh?!"

"Buat Xaxayang apa sih yang nggak boleh?"

Xaxa hampir melompat dari tempatnya. "Yeay! Makasih, Yaya!"

***

Hendery dan Tata kebagian piket bersama dan karena Hendery yang paling terakhir piket, Tata tak tega meninggalkannya sendirian. Laki-laki itu terlalu fokus pada latihannya sehingga lupa akan waktu, tapi Tata jelas akan mendukungnya.

Sebab ia paham betul apa arti berjuang.

Salah sedikit, salah tindakan atau perkataan, seseorang yang tengah berjuang keras seperti Hendery akan jatuh semangatnya.

Tata ingin Hendery tidak gagal berjuang seperti dirinya dahulu kala.

Saat ini, keduanya tengah berjalan menuju parkiran untuk pulang. Hendery sendiri merasa seperti kejatuhan durian karena tahu-tahu Tata mengajaknya pulang bersama setelah sebelumnya menunggunya menyelesaikan tugas piket kelas.

"Lo ada olimpiade matematika, gue juga ada konten tari kelompok bulan depan. Sistemnya sama-sama pemilihan yang terbaik buat maju." Tata segera membahas apa yang ingin ia sampaikan pada Hendery. "Kita saling semangatin aja."

"Yoi." Hendery tak bisa menanam senyuman lebarnya. Ia menatap Tata dengan lembut. "Udah latihan berapa hari buat kontes itu?"

"Satu Minggu. Udah lumayan lah."

"Bagus kalau gitu," tukas Hendery lega. "Jangan menyerah kalau gagal, tapi jangan lega juga kalau udah menang."

Tata mengerutkan keningnya. "Kenapa begitu?"

"Jalan kita masih panjang," jawab Hendery dengan nada suara serius yang membuat Tata merasa Hendery punya dua kepribadian berbeda yang bertolak belakang. "Kalau kita menyerah setelah gagal, pasti kontes yang nunggu di depan bakal kecewa atau bahkan ... nangis. Kalau kita lega karena udah menang, kompetisi di depan pasti nggak bakal merasa senang karena kita kayak nggak begitu berusaha buat menang lagi."

Tata tersenyum tipis, tapi hatinya terasa sangat hangat. Ia terpesona dan takjub pada Hendery dan kata-kata ajaibnya.

"Cocok deh jadi anaknya Mario Teguh," kata Tata memuji.

"Kalau jadi pacar lo cocok nggak?" tanya Hendery usil.

Pipi Tata langsung memerah dan tenggorokannya tiba-tiba terasa tercekat hingga ia tak bisa mengeluarkan kata-kata.

"NGGAK!" Saat Tata berusaha menormalkan kembali dirinya, sebuah suara toa tiba-tiba terdengar, seperti merobek latar belakang pink antara Hendery dan Tata. Pelakunya jelas adalah oknum Kim Doyoung. "Tata nggak boleh punya pacar!"

"Doyoung?" Hendery mengernyit bingung. Heran mengapa Doyoung tahu-tahu ada di belakangnya padahal setahunya semua anak kelas sudah pulang. Di kelas tadi, tidak ada siapa-siapa lagi selain dirinya dan Tata.

"Ih, ada orgil, cabut aja, yuk!" seru Tata merasa tak nyaman.

"Heh!" seru Doyoung tak terima.

"Ayo, Dry!" seru Tata lagi saat Hendery tak bergerak sama sekali atas ajakannya.

Hendery menoleh pada Yaya sekilas sebelum melihat Doyoung dengan serius. "Bentar, gue mau tanya sesuatu dulu sama Doyoung."

"Kenapa?" tanya Doyoung.

"Mana Taeyong?"

"Tadi sih lagi ngobrol sama Yaya di taman pinggir perpus," jawab Doyoung seadanya. "Kenapa emangnya?"

"Gue juga mau ngobrol sama dia, baru keinget." Hendery membalas cepat. Kemudian melihat Tata lagi. "Ta, lo mau ikut atau tunggu di sini bareng Doyoung?"

"Ikutlah!" seru Tata cepat, refleks sepertinya.

"Oke, ayok!"

Tata mengikuti langkah Hendery setelah sebelumnya menunjuk Doyoung dengan dua jari tangannya seraya menatapnya dengan penuh ancaman.

"Jangan ngikutin lo! Kalau ngikutin, gue colok mata lo!"

***

Buat kamu-kamu yang komen di setiap part ... semoga hidupnya penuh keberkahan yaaa😚😍😘😘😘

04112020

11 IPA 4 • NCT 127 X WAYVTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang