90. Beda Kelamin

38 8 4
                                    

Saat Yaya melihat butiran beras di tokonya, Yaya mendadak teringat suatu sore di mana ia mendapatkan pernyataan bahwa Taeyong memiliki perasaan khusus padanya.

"Kenapa lo suka sama gue?" Yaya bertanya begitu dengan gemas, bahkan sampai memotong perkataan Taeyong yang sebelumnya.

"Eh?"

"..."

"...."

"...."

"...."

Yang Yaya dapatkan hanya keheningan untuk tiga menit lamanya. Taeyong sibuk mengalihkan pandangannya dan Yaya tak pernah beralih darinya.

"Emang nggak boleh ya gue suka sama lo?" Taeyong balas bertanya dengan raut wajah yang tak bisa diartikan. Entah sedih atau kesal.

"Boleh atau nggak boleh, bukan gue yang menentukan." Yaya membalas cepat, mengutarakan apa yang ada dalam benaknya saat ini. "Gue cuma penasaran kenapa lo suka sama gue. Kita jelas beda. Mulai dari sifat; gue ramah, lo pemarah, kesukaan; gue suka menulis, lo suka bacot, pelajaran; gue suka olahraga, lo suka tidur, makanan; gue suka tumis kangkung buatan Ibu, lo suka steak ala restoran kelas atas, minuman; gue suka es teh manis, lo suka Starbucks, cemilan; gue suka keripik ubi yang goceng satu kilo, lo suka ubi manis yang satu bungkus bisa sampai lima puluh ribu--"

"Tunggu, dari mana lo tau semua itu?" Kening Taeyong mengerut bingung.

"Dari Jaehyun. Baru aja dia certain banyak tentang lo. Kayaknya hampir semuanya, sih."

Taeyong memutar bola matamu, kesal banget. "Si setan."

"Apa?"

"Nggak." Taeyong menggerak-gerakkan kedua tangannya dengan senyuman kikuk. "Gue kaget barusan," kilah Taeyong.

"Oh."

"Iya."

"Jadi gimana?"

"Eh? Apanya?"

"Kenapa lo suka sama gue?" tanya Yaya sekali lagi. "Kita banyak perbedaannya, sampai Tuhan kita juga beda."

Taeyong membuang napas panjang, mencipta jeda yang cukup lama sampai akhirnya ia menatap Yaya penuh arti, tepat di mata.

"Alasannya cuma satu, jelas," tegas Taeyong.

Jantung Yaya tiba-tiba berdebar-debar kencang seperti saat ia dikejar-kejar anjing tetangga. "Apa?"

"Karena kita beda kelamin."

Bugh!

Yaya memukul paha Taeyong keras-keras, menyalurkan kekesalannya karena telah dipermainkan padahal ia sedang serius-seriusnya.

"AW!" seru Taeyong tak paham keras. Hal itu membuat pintu UKS langsung terbuka dan menampilkan raut wajah khawatir milik Doyoung.

"Yong!" seru Doyoung penasaran.

Jaehyun menyusul tak lama kemudian.

"Nggak apa-apa, Doy, nggak apa-apa." Taeyong menaikkan satu tangannya, memberi kode. "Masih aman, kok. Kalau gue udah nggak bersuara lima menit lagi, artinya gue mati dicekik."

"Ya udah," kata Doyoung. Lalu, dirinya dan Jaehyun kembali memberi ruang dan waktu untuk Taeyong dan Yaya bicara atau ribut.

"Serius!" seru Yaya gemas saat Taeyong terlihat tertawa atas reaksinya yang sebelumnya.. "Jawab pertanyaan gue, Yong!"

"Iya, maaf." Taeyong benar-benar tertawa kecil. Lalu, ia menatap Yaya seolah Yaya adalah objek terakhir yang bisa ia lihat. "Sekarang udah ketauan, gue nggak mau bohong lagi. Apa lo nggak pernah rasain perasaan di mana lo liat seseorang dan berpikir ingin menghabiskan seluruh sisa waktu hidupnya bersamanya?"

Mendadak, seluruh nyawa Yaya seperti hidup dalam mata Taeyong. Ia tak bisa beralih, tak bisa bicara, bahkan sampai lupa bernapas karena mata indah Taeyong sudah lebih dari cukup untuk membuatnya hidup.

"Itu yang gue rasain ke lo. Nggak ada alasan kenapa gue merasakan itu, karena itu udah anugerah yang dikasih Tuhan buat gue, buat gue bahagia." Taeyong tersenyum tipis, terlihat damai dan sejuk. "Sekarang, gue ada satu pertanyaan buat lo jawab."

Hati Yaya berdebar-debar tanpa alasan yang jelas. Entah mengapa ia merasakan itu saat bersama Taeyong, tapi Yaya tak merasa tak nyaman.

"Apa lo mau jadi seseorang itu buat gue?" tanya Taeyong sungguh-sungguh. "Yang bisa bersama sampai masa memisahkan?"

"Yaya!"

Sebuah seruan keras itu membuat Yaya kembali tertarik ke dunia nyata. Di depannya sudah ada Xiaojun yang menatapnya lekat, lengkap dengan wajah heran dan gemas.

"Aduh, kaget," kata Yaya seraya menyentuh dadanya, menetralkan jantungnya yang kaget. "Dejun!"

"Ngelamun mulu." Xiaojun menaruh yogurt stroberi kesukaannya bersama barang-barang lain yang telah dikumpulkan sebelumnya di depan Yaya untuk dibayar. "Kalau gue rampok, udah koid ini warung."

"Untung lo malaikat, bukan rampok." Yaya tersenyum polos, lalu tertawa kecil.

Xiaojun baper, tapi pura-pura cool. "Gue bukan malaikat, gue manusia."

"Lo malaikat bagi gue." Yaya mengambil kantong plastik dan memasukan belanjaan Xiaojun seraya menghitung harganya. "Jadi sepuluh ribu. Mau beli apa lagi?"

Beli hati lo bisa nggak? Xiaojun gombal dalam hati.

Ia tersenyum tipis pada Yaya, menyerahkan selembar uang dan mengambil belanjaannya. "Udah, kok. Makasih ya."

"Iya, sama-sama."

Xiaojun berbalik pergi, tapi belum dua langkah berjalan, Yaya sudah memanggilnya lagi.

"Eh, tunggu, Jun!"

Xiaojun berbalik dan menaikkan satu alisnya. "Kenapa?"

"Hari Minggu nanti Jungwoo ajak kita makan seblak. Mau ikut nggak? Katanya dia yang traktir."

"Wah, tumbenan itu anak kasih traktir."

"Bersyukur ajalah, Jun." Yaya tersenyum senang. "Katanya kita harus banget mau. Nanti menyesal kalau nggak ikut."

"Nggak ada gratis yang bakal gue tolak." Xiaojun menaik-turunkan kedua alisnya dengan senyuman penuh arti. "Gue ikut."

"Sampai ketemu hari Minggu, kalau gitu."

"Iya." Xiaojun berbalik lagi setelah melambai tanda perpisahan.

"Eh, Jun."

"Kenapa lagi?"

"Emangnya Abi lo bakal izinin?" tanya Yaya penasaran.

"Kalau gue bilangnya pergi sama Jungwoo sama lo, Abi pasti izinin."

Xiaojun kenal bagaimana sifat Abi. Abi sudah kenal dengan Yaya dan Jungwoo, jadi pasti dapat izin untuk absen pengajian esok hari.

"Okelah kalau gitu," balas Yaya seraya mengacungkan jempolnya dengan senyuman lebar, menutup hari Xiaojun dengan kebahagiaan.

***

11 IPA 4 • NCT 127 X WAYVTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang