42. Beautiful || Beside

716 80 1
                                    

Sudut Pandang Jimin

—Selamat Membaca—

*

*

*

Rasa-rasanya aku ingin mengakhiri hidupku malam ini juga. Apalagi posisiku sekarang sangat mendukung, yakni di jembatan Mapo. Jembatan dengan pemandangan indah Sungai Han, tetapi juga lokasi yang sering digunakan untuk bunuh diri.

Kepalaku menengok sedikit ke arah bawah yang gelap gulita. Pasti dingin. Memikirkan tubuhku yang jatuh ke bawah, lalu kesulitan napas dalam keadaan dingin, membuatku bergidik ngeri. Niat buruk itu seketika pergi dari pikiranku. Aku masih ingin menikmati samgyetang di musim panas nanti.

Lagi pula, kalau dipikir-pikir, aku bukanlah satu-satunya manusia yang memiliki masalah pelik. Pasti masih ada manusia yang memiliki masalah jauh lebih berat dariku dan mereka bisa mengatasinya. Mungkin aku harus lebih bersabar dan semangat. Dipecat pekerjaan dan sekarang menyandang status pengangguran bukanlah hal besar. Mungkin besok akan ada keajaiban untukku. Pasti.

Setelah menenangkan dan menyemangati diri sendiri, aku langsung berlari kencang ke depan. Aku tidak menyangka akan bertemu orang yang hendak melakukan percobaan bunuh diri. Kakiku otomatis berlari kencang ke arah pria yang akan meloncat itu.

"Jangaaaaaannnnn!" Aku berhasil menahannya dengan memeluk tubuh pria ini dari belakang. "Jangan lakukan."

Napasku terengah-engah, begitu juga degan pria dalam rengkuhanku ini. Aku bisa merasakan detak jantungnya dan remasan tangan yang ingin melepas pelukanku.

"Airnya dingin, aku tidak bohong. Lebih baik ikut aku. Malam ini, aku butuh teman untuk makan ramen. Apa kau mau menemaniku?"

Tidak ada sahutan darinya. Setidaknya aku bisa merasakan bahwa tubuh pria ini sedikit lebih tenang. Meski demikian, aku masih harus waspada. Jaga-jaga seandainya ia berontak kemudian terjun begitu saja.

"Sebentar lagi musim panas. Ada festival kembang api yang sangat terkenal di Busan. Apa kau pernah melihatnya? Kalau belum, aku akan mengajakmu. Kembang apinya indah sekali."

Aku masih berusaha untuk membisikkan kata per kata untuk menenangkannya. Tujuannya supaya aku bisa mengajaknya pergi dari sini. Mungkin membawanya ke kantor polisi, meminta bantuan mereka untuk menghubungi wali pria ini.

Kepalaku kusenderkan pada punggungnya yang ternyata lebih bidang dibanding milikku. Sekali lagi, aku menghasutnya dengan ucapan lembut.

"Tuan, ayo pulang. Aku bersedia menjadi pendengar untukmu jika kau mengizinkan. Aku ... aku mau menjadi temanmu. Ayo pulang."

Gerakannya begitu cepat. Aku yang sedari tadi pasang kewaspadaan bahkan terkecoh. Untungnya tindakan pria itu bukan meloncat, melainkan mencengkeram kedua pundakku dengan erat. Aku sendiri dibuat terkejut.

Kini, wajah pria yang hendak mengakhiri hidupnya itu bisa kulihat jelas. Aku bisa melihat beberapa bagian mukanya yang terdapat luka darah belum mengering dan memar di bagian pipi, hidung, dan dagu.

Jujur saja, aku sedikit takut dengan caranya menatapku yang penuh intimidasi. Akan sangat mengerikan jika ia justru menyeretku untuk ikut menemaninya terjun ke bawah. Tidak, aku sama sekali tak menginginkannya meskipun beberapa saat lalu sempat terbesit niat seperti itu.

"Tu-tuan ... a-aku—"

Ucapanku yang terbata-bata karena ketakutan, berhenti total ketika ia memelukku secara tiba-tiba dan begitu erat. Tubuhku sampai sedikit terdorong ke belakang.

ChorusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang