54. Lonely

767 86 20
                                    

Aktivitas pemuda itu berjalan normal. Skripsi yang tengah dikerjakan juga lancar, tidak terhambat dengan sulitnya bertemu dosen pembimbing. Jadwal makannya juga teratur dan menu yang disantap pun bergizi.

Jam tidurnya juga tidak ada masalah. Bisa tidur 6-7 jam untuk mahasiswa tingkat akhir adalah suatu anugerah dan kenikmatan. Ada kasus, yakni temannya yang tidak bisa tidur seminggu hingga harus ke psikiater demi kesehatan. Kemudian untuk lingkungan pertemanannya juga terjalin baik.

Semuanya berjalan normal jika diceritakan bagaimana Park Jimin menjalani hari-harinya. Namun, ada satu rasa yang Jimin sendiri tidak pahami. Ia tidak tahu apa itu, tetapi cukup mengamganggu suasa hatinya.

Jimin merasa ada yang menghilang atau ibarat permainan puzzle yang kehilangan satu kotaknya. Kesalnya, ia tidak tahu apa.

Ketika membaca artikel di Naver, melakukan hal baru bisa menghilangkan kebosanan. Akan tetapi, Jimin tidak sedang bosan dengan rutinitasnya. Melakukan hal baru rasanya percuma karena ia justru tidak menuntaskannya. Hal baru itu, seperti membeli bibit tanaman, tetapi belum ada seminggu mati karena lupa menyirami.

"Argh! Ada apa dengan diriku?" teriaknya frustasi.

Malam itu, usai menutup lembar kerja word, Jimin meraih jaket kemudian keluar dari apartemennya. Ia berharap udara malam mampu menjernihkan perasaan yang sulit didefiniskan ini.

Duduk di kursi minimarket sambil menyantap ramen cup dengan minuman bersoda menjadi pilihan Jimin. Sebelum ke sini, Jimin belum menemukan tujuannya. Namun, saat melihat bis yang kebetulan berhenti di terminal yang tak jaih darinya, Jimin langsung naik begitu saja.

Lokasi minimarket tempat Jimin makan sekarang cukup jauh dari kawasan kampusnya. Jika bis terakhir sudah tidak lewat, itu bukan masalah. Ia bisa memesan taksi.

Asyik makan sendiri, Jimin terkejut dengan sosok yang berdiri kurang lebih 2 meter darinya. Sosok yang mengenakan jaket warna army dengan topi hitam ciri khas penampilan orang itu. Penampilan yang mampu menipu orang yang tidak dikenal soal umurnya yang tahun depan genap berusia 40 tahun.

Biar Jimin ingat-ingat. Kapan terakhir mereka saling bertegur sapa? Kalau tidak salah dua bulan yang lalu. Biasanya, Jimin dan sosok itu akan saling menyapa tiap mereka berada di satu momen. Namun, hal itu tidak dilakukan lagi saat salah satu di antara mereka pindah apartemen.

"Yoongi Hyung?" panggilnya lirih.

"Hai, Jimin. Aku tidak menyangka bertemu denganmu di sini." Katanya usai memangkas jarak lebih dekat.

Dia adalah Min Yoongi. Sosok 15 tahun lebih tua darinya. Alih-alih memanggilnya dengan sebutan paman, Jimin lebih suka memanggilnya hyung atau namanya langsung. Dengan catatan si pemilik nama mengizinkannya.

"Aku sedang makan ramen."

"Di sini?"

"Itu ... tadi aku jalan-jalan dahulu."

"Kau sendiri?"

Jimin mengangguk. Yoongi kemudian menawarkan minuman hangat di rumahnya usai berdiskusi apakah Jimin mau mampir atau tidak. Tawaran itu langsung diiyakan tanpa memusingkan bahwa besok ia sudah ada janji revisi dengan dosen pembimbingnya. Memangnya akan menginap? Jimin malu sendiri dengan isi kepalanya.

Ternyata selama ini Yoongi tinggal di sini usai kepergiannya dua bulan lalu. Yoongi bilang, ia menyewa kamar sebelahnya karena sedang ada masalah di rumah. Hanya itu yang Jimin ketahui. Sisanya cuma keakraban layaknya teman dan hubungan kakak beradik. Ia tidak tahu masalah apa yang dihadapi Yoongi sampai harus keluar rumah.

"Aku bercerai."

Jimin bagaikan tertimpa batu ukuran besar mendengar ucapan Yoongi yang tiba-tiba. Bukan bagian bercerainya, tetapi fakta bahwa Yoongi pernah menikah.

ChorusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang