55. Blossom

855 86 37
                                    

Ada beberapa hal yang tidak bisa kita pahami dalam hidup ini. Ketika jiwa berada di ambang pertengahan yang tidak bisa ke kiri maupun ke kanan. Bergeming karena terlalu lama dan membiarkannya perasaan itu berlalu begitu saja. Tidak ada tindakan, hanya menerima karena ketakutan.

Perasaan itu, seperti kau hidup, tetapi mati; tersenyum, tetapi hati melamun; tertawa, tetapi terluka; dan penuh, tetapi kosong. Semua perasaan itulah yang dialami oleh Park Jimin di sepuluh tahun belakangan ini. Jimin hidup membaur dengan mereka—keluarga, teman, rekan kerja—layaknya manusia normal tanpa celah karena terbantu oleh senyumnya.

Namun, ada satu manusia yang paham bagaimana perasaan Jimin. Sosok itu, bahkan ingin menarik Jimin dari dunia kelam yang terus-menerus membelenggunya. Ia ingin, pria yang telah genap berusia 29 tahun itu merasakan yang namanya benar-benar hidup.

"Kenapa bukan kau saja, Hyung?" Suara Jimin terdengar putus asa untuk lawan bicaranya.

"Kau tahu alasannya, Jimin."

Jimin menatap Jung Hoseok, pria satu tahun lebih tua darinya. Satu-satunya orang—di luar hubungan darah—yang Jimin pilih sebagai sosok yang tidak pernah menyakitinya. Satu-satunya orang yang menurut Jimin memiliki senyum paling tulus untuknya.

"Kenapa bukan kau saja yang menjadi milikku? Kau pernah mengatakan bahwa kau mencintaiku."

"Aku memang mencintaimu, Jimin, tetapi cinta yang kumiliki berbeda dengan yang kau maksud."

Hoseok menghela napas pelan. Helaan tersebut bukan berarti bahwa ia lelah menghadapi Jimin, sahabat yang sudah dianggap bak adik sendiri. Hubungan persahabatan mereka telah terjalin selama 15 tahun. Waktu yang lama, bukan?

Sayangnya, Hoseok sempat membenci dirinya sendiri termasuk kecewa kepada Jimin. Selama kurang lebih tiga tahun, pria yang dijuluki senyum secerah mentari itu kecolongan kabar Jimin. Ia mengira sahabatnya hidup dengan bahagia, tetapi ternyata semua itu hanya akal-akalan Jimin yang pintar menyembunyikannya.

"Aku lebih pantas menjadi sahabat dan hyung-mu, kan? Dibandingkan menjadi pasangan hidupmu."

"Tetapi kau tidak akan menyakitiku, Hyung."

"Kita tidak bisa menjamin hal itu, Jimin. Aku yakin, kau sendiri setuju dengan ucapanku."

Jimin memang setuju, tetapi ia hanya terlalu takut untuk memulainya lagi. Ia takut untuk membuka hatinya kembali setelah masa lalunya dihancurkan oleh sosok pria lain. Pria yang membuat sepuluh tahunnya kelabu. Pria yang menawarinya kehangatan, tetapi ternyata hanya kepalsuan. Pun pria yang meninggalkan luka fisik maupun psikis untuk Jimin.

"Min Yoon—"

"Pria itu sudah mati, Jimin," potong Hoseok. "Dia sudah mati tujuh tahun yang lalu."

"Maafkan aku." Jimin menunduk karena kembali menyebut nama itu lagi.

Tiap kali kecemasan itu datang, entah kenapa nama itu selalu terngiang di kepalanya. Seolah-olah, nama pria yang membuat hidupnya sengsara selama tiga tahun itu, tidak bisa dienyahkan dari otaknya.

"Jimin," panggil Hoseok dengan intonasi berbeda, yakni lebih lembut ketimbang menginterupsi ucapannya tadi.

"Barangkali ucapanku terdengar egois atau jahat jika menyebut waktu untuk sebuah luka. Tujuh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Kau berhak menjemput kebahagiaanmu yang lain."

"Aku ... aku hanya takut, Hyung. Aku takut semakin hancur. Aku takut tidak bisa memenuhi janjiku padamu untuk selalu menjawab pesanmu. Aku takut kehidupanku justru akan lebih buruk."

"Hei, hei ... lihat aku." Tangan Hoseok meraih—sedikit paksa— wajah Jimin untuk menghadap ke arahnya. "Kau belum mencobanya. Tidak adil jika menyamaratakan orang yang jelas-jelas berbeda. Kau berhak memberi mereka kesempatan, Jimin. Percaya padaku."

ChorusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang