34. Contrast

988 94 13
                                    

Jimin melihat Yoongi di pintu keluar. Ia kira dirinya adalah orang terakhir yang pulang—selain petugas keamanan. Ternyata masih ada Yoongi dengan payung yang berada di tangan kanannya. Tunggu, apakah di luar hujan?

"Hai," sapa Jimin, "di luar hujan, ya?"

"Iya."

Ekspresi wajah panik langsung menyerang Jimin. Pasalnya, ia tidak membawa payung, dan jalan menuju parkiran tidak ada peneduhnya.

"Apa deras?"

"Iya."

Pemuda itu melangkah ke depan untuk memastikan langsung, dan ternyata benar. Hujannya sangat deras. Mungkin kalau cuma rintik-rintik, Jimin bisa nekat.

Keberadaan Yoongi yang ada di sebelahnya menyita atensi Jimin. Kenapa pria yang beda divisi dengannya ini belum pulang? Apa Yoongi juga lembur?

"Kau menunggu siapa, Yoongi?"

"Kau."

"Apa? Aku?" Yoongi mengangguk. "Kenapa?"

"Aku tahu kau tidak membawa payung. Mau satu payung denganku?"

Melihat raut Jimin yang tampak tak nyaman, Yoongi segera menambah ucapannya, "Ini murni karena aku ingin membantumu. Bukan taktikku untuk mendapatkan hatimu, tetapi karena sebagai rekan kantor. Bukankah besok kita ada rapat pagi-pagi? Aku hanya tak ingin tim kita kehilangan performa hanya karena air hujan dan pulang larut karena menunggu hujan."

Ah, benar. Ia dan Yoongi adalah satu tim untuk mempresentasikan proposal yang akan diajukan untuk klien. Divisi Jimin dan Yoongi saling bekerja sama untuk mencuri hati klien yang kali ini banyak maunya.

Jimin terlalu membawa perasaannya. Namun, siapa yang tidak akan berpikir ke arah sana, jika ada seseorang yang terang-terangan menyatakan ketertarikan dan rasa suka padamu beberapa hari lalu. Kemudian, saat ini orang itu mengajakmu satu payung bersama.

Atas dasar profesionalitas kerja, Jimin menerima tawaran Yoongi. Mereka berdampingan menuju parkiran dalam satu naungan. Meski Jimin ingin menunjukkan integritasnya, ia tak bisa menampik bahwa hatinya tengah bergemuruh. Berdekatan dengan Yoongi, bahkan sampai bahu mereka saling bergesekan, menimbulkan degup anomali di dada kiri Jimin.

"Kau lembur, ya?" tanya Jimin untuk memecah keheningan selain suara hujan. Meskipun ia harus menaikkan volume suara dari biasanya.

"Iya. Mengecek ulang power point untuk besok."

"Kupikir cuma aku yang tersisa di lantai lima."

"Kenapa? Takut sendiri?"

Jimin merespons ledekan Yoongi dengan tawa halus. Ia tahu jika pria di sebelahnya ini hanya bercanda. "Kalau di atas pukul 21.00 takut."

Yoongi menoleh. "Soalnya petugas kebersihannya sudah turun ke lantai satu," sambung Jimin.

"Lain kali kalau mau lembur bilang saja ke aku."

"Eh? Kenapa?"

"Aku temani."

"Ini murni karena kerja, kan?"

"Bukan. Ini taktikku untuk mendapatkan hatimu."

Pipi Jimin memanas. Tanpa sadar tubuhnya bergeser, menyebabkan tetesan air di ujung payung mengenai bahunya.

"Jangan gugup, Park," kata Yoongi lebih seperti berbisik. Tangannya meraih pinggang Jimin agar merapat. "Lihat, kau basah."

"Kau sendiri yang membuatku gugup."

"Gugup? Apa itu berarti jantungmu mulai tidak bekerja dengan baik saat di dekatku?"

"Yoongi ...." Tanpa sadar Jimin malah mengeluarkan nada merajuk. Ia seperti meminta kekasihnya untuk berhenti menggodanya karena tak kuasa menahan kegugupan.

ChorusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang