80. Heartbeat

673 89 31
                                    

"Anda ingin jalan-jalan sebentar, Sajangnim? Kebetulan ada pameran lukisan di sekitar sini. Jika Anda berkenan, saya bisa menghubungi pihak panitianya."

Sosok yang dipanggil tuan, yakni Min Yoongi, pria berusia 29 tahun menoleh ke belakang usai menikmati pemandangan kota Jepang yang diguyur hujan. Menghabiskan sisa waktu di Negeri Sakura dengan mengamati lukisan sepertinya tidak buruk. Lagi pula, Yoongi memang tidak ada agenda setelah rapat dengan beberapa kolega penting.

Sekretaris pribadi Yoongi membungkuk setelah mendapat anggukan dari tuannya. Ia bergegas mengambil mantel untuk dikenakan Yoongi.

Hujan tidak lagi deras, tetapi cukup membuat orang kuyup bila tidak memakai payung. Yoongi mengamati bulir-bulir air yang menempel pada kaca mobilnya. Jika matanya fokus pada bulir tersebut, pantulan cahaya dari luar akan tampak mengabur dan Yoongi menyukai hal itu. Sesuatu yang buram, tetapi tampak indah, seperti mimpinya akhir-akhir ini.

Kita akan bertemu, begitulah penggalan ucapan seseorang yang ada di dalam mimpinya.


*


Dengan kekuasaannya, Yoongi bisa mengosongkan mall dari pengunjung hanya untuk sekadar membeli sepatu. Jadi, bukan hal sulit bila cara itu dilakukan sama persis saat kunjungannya ke pameran lukisan sekarang, kan? Hanya saja, Yoongi tidak melakukannya. Ia ingin ke sana, tetapi setelah jam kunjung habis.

Yoongi tidak begitu menyukai suasana ramai. Bahkan untuk rapat pun, ia hanya membatasi maksimal delapan orang. Sekretaris pribadi Yoongi, Pak Lee sudah hafal betul dengan sifat tuannya. Ia sudah mengenalnya bertahun-tahun bahkan sebelum Yoongi ditunjuk sebagai CEO Min Corp. Ya, Pak Lee dahulunya adalah sekretaris mendiang ayah Yoongi.

"Kita sudah sampai, Sajangnim."

Mata Yoongi perlahan membuka. Selama perjalanan, ia tidak sadar jika tertidur. Yoongi juga sempat bermimpi dan mendengar suara itu lagi. Kita akan bertemu.

Begitu pintu dibuka, mata Yoongi dimanjakan dengan bingkai lukisan dengan ukuran seragam. Pameran yang sedang diselenggarakan ini terdiri dari bermacam-macam pelukis populer Jepang. Masing-masing sekat dikhususkan untuk satu pelukis.

Sebenarnya, perihal seni Yoongi tidak terlalu tahu. Ia hanya sekadar menyukai furnitur, tetapi tidak untuk filosofinya. Meski begitu, Yoongi tetap menikmatinya.

"Sajangnim, saya permisi dahulu karena ada telepon dari klien Amerika. Anda tidak apa-apa saya tinggal sebentar?" tanya Pak Lee.

"Pergilah."

Setelah Pak Lee membungkuk dan berlalu, tinggallah Yoongi seorang dengan pemandu yang berdiri tak jauh darinya. Yoongi mengamati satu per satu lukisan yang menurutnya tampak keren. Kendati tidak paham, menghargai adalah nomor satu ketika ingin mengapresiasi karya seseorang.

"Ada berapa pelukis yang berkontribusi?" tanya Yoongi.

"Sebanyak 10 orang, Sajangnim. Apakah, Sajangnim sudah tahu tema pameran ini?" Yoongi menggeleng. "Pameran kali ini mengusung tema denyut jantung. Banyak pelukis yang menuangkan ide mereka melalui kenangan-kenangan masa lalu. Mereka mengajak pengunjung untuk kembali menyelami beragam memori. Entah itu bahagia, sedih, kekecewaan, kemarahan, atau bahkan kesepian."

"Aku merasakannya," sahut Yoongi.

"Apakah Anda teringat dengan salah satu memori, Sajangnim?"

"Ya." Yoongi tersenyum tipis, lalu melanjutkan langkahnya.

ChorusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang