50. Indestructible || End

676 84 26
                                    

Saat itu, Jimin yang usianya 13 tahun tidak kembali ke rumah Yoongi untuk melanjutkan makan siangnya bersama sang ibu dan Bibi Yoonji. Jimin justru berakhir di kamarnya dan menangis histeris sendirian. Ia tidak tahu dengan perasaan tidak enak yang dirasakan hatinya saat ini. Jimin hanya ingin menangis saat teringat bayang-bayang Yoongi yang mencium seorang perempuan.

Larut dengan kesedihannya, Jimin menoleh ke arah pintu ketika benda persegi panjang itu dibuka seseorang dari luar. Yoongi masuk tanpa izin dan menutup pintu itu pelan. Jimin pun mengubah posisinya menjadi duduk seraya mengusap air matanya yang tak kunjung berhenti. Suara sesenggukannya pun masih tersisa.

"Jiminie, Jiminie sedang tidak ingin melihat Yoongi Hyung. Yoongi Hyung lebih baik pulang saja," pintanya.

"Kau benar-benar menyukaiku, ya?" tanya Yoongi tiba-tiba.

Yoongi cukup terkejut dengan penampilan tetangganya sekarang. Wajah Jimin benar-benar berantakan pascamenangis. Terakhir Yoongi melihatnya seperti ini saat Jimin jatuh karena belajar naik sepeda dan kakinya terluka akibat tergores batang kayu lancip.

Sementara itu, pertanyaan Yoongi seperti terabaikan karena Jimin tak kunjung menjawab. Bukan tidak ingin, hanya saja anak laki-laki yang masih duduk di bangku SMP itu bingung harus menjawab apa.

"Jimin."

"Jiminie sudah mengatakan sejak awal kalau Jiminie suka, Yoongi Hyung."

"Kau masih 13 tahun. Ini pasti hanya cinta monyet seperti yang dialami praremaja. Barangkali kau juga hanya terpengaruh oleh omongan Taehyung dan Jungkook."

"Apa maksudmu, Yoongi Hyung?"

"Lihat, kau saja masih bingung. Astaga, aku sendiri yang terlalu kepikiran."

"Jiminie tidak mengerti."

"Rasa sukamu hanya sebatas kekaguman saja, Jimin. Bisa juga karena tidak ingin kalah dari Taehyung dan Jungkook. Seharusnya aku tidak perlu khawatir dengan membawanya sampai ke hati. Toh jarak usia kita enam tahun, jadi wajar saja jika kau tidak memahaminya."

Yoongi terus-terusan mengoceh dengan gaya sok dewasa. Jimin benar-benar tidak paham dan perasaan tidak enak di hatinya kian menumpuk seiring deretan kalimat yang keluar dari mulut pemuda itu. Tetangganya itu terus-menerus membahas pernyataan rasa sukanya. Seolah-olah pengakuan itu hanya candaan belaka yang dilakukan Park kecil.

*

*

*

"Aku tidak tahu jika ucapan bodohku di masa lalu membuatmu seperti ini," kata Yoongi di belakang Jimin. Ia mencium ujung rambut yang sedikit menutupi tengkuk Jimin. Harum rambutnya membuat Yoongi sedikit candu.

Hanya ada satu jaket tebal dan itu dipakai Yoongi. Sementara seharian keluar tadi, Jimin cuma memakai kaus hitam kebesaran lengan pendek. Jimin berkeras hati ingin duduk di pasir pantai sambil mendengar deburan ombak kecil. Sudah pasti udaranya dingin dan Yoongi tidak akan membiarkan anak orang sakit hanya gara-gara angin malam pantai. Jadilah ia memeluk Jimin dari belakang sambil membagi kehangatan melalui jaket yang ia buka dan hampir membungkus tubuh mereka berdua.

Anehnya, Jimin tidak memberontak dengan keintiman mereka sekarang. Ia justru duduk nyaman bersandar di dada Yoongi sambil mendengarkan cerita tetangganya itu. Jari telunjuk mungilnya membuat pola acak di permukaan tangan Yoongi.

"Maaf. Dahulu aku berpikir kau hanya anak laki-laki yang sedang pubertas. Pernyataanmu hanya main-main karena faktor lingkungan pertemananmu."

Gerakan tangan Jimin berhenti dan berganti meremas tangannya sendiri. Ia sudah mendengar semua penjelasan Yoongi untuk kejadian 10 tahun silam. Yoongi yang saat itu masih di pengujung remaja menuju dewasa, ternyata sama-sama belum bisa memfilter omongannya. Kalau dipikir di usia sekarang, mungkin bisa diwajarkan. Mereka memiliki kemiripan yang bernama proses menuju kedewasaan.

ChorusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang