40. One Year Later

924 88 2
                                    

—Sangat direkomendasikan membaca sambil memutar media—

—Selamat membaca—

*

*

*

Hari ini entah sudah berapa kali Jimin mengesah tanpa suara. Dimulai dari apartemen, kantor, dalam bus hingga rumah orang tuanya. Ia akhirnya memutuskan pulang ke Busan usai sekian lama tak menjenguk orang tuanya. Ada alasan khusus karena kepulangannya untuk merayakan ulang tahun sang ayah yang ke-60 tahun.

Jimin memeta kamar tidurnya yang sudah bersih dari debu. Ibunya pasti sudah membersihkan jauh-jauh hari sebelum ia datang. Coat cokelatnya disampirkan pada tiang pakaian dekat jendela.

Masih ada sisa waktu sebelum pesta ulang tahun ayahnya dimulai. Jimin memilih untuk melihat pemandangan halaman belakang rumah dari jendela kamarnya. Banyak daun yang gugur dan berserakan di atas rumput.

Melihat koloni daun yang berguguran, Jimin teringat akan sesuatu. Ia sudah berjumpa kembali dengan musim gugur. Itu berarti, satu tahun telah berlalu. Akan tetapi, rasanya seperti baru kemarin Jimin berbalik pergi dengan tetesan air mata. Coat cokelat yang menghangatkannya selama perjalanan pulang ke sinilah buktinya.

Ketukan pintu dan panggilan dari luar membuyarkan lamunan masa lalu Jimin. Nyonya Park masuk begitu mendapat sahutan dari putranya. Sosok wanita yang sudah termakan usia, tetapi masih tampak cantik dan akan selalu cantik di mata Jimin.

"Ada apa, Bu?"

"Acaranya akan segera dimulai. Ibu kira kau sedang mandi."

"Ah, aku terlalu asyik melihat pemandangan dari sini. Aku akan mandi segera, Bu."

"Baiklah. Jangan lama, ya."

Jimin mengangguk. Matanya sekilas menatap sepasang bantal dan guling di kasur. Sebelum ibunya keluar, Jimin memanggil.

"Bu, kenapa ada dua bantal dan guling?"

Nyonya Park mengamati objek benda yang dilihat putranya. Bukan tanpa alasan kenapa ibu dua anak ini menyiapkan peralatan tidur lebih dari satu.

Sayangnya, jawaban sang ibu justru mengundang keterkejutan Jimin meski hanya selintas karena ia segera mengatur mimik wajah. Jimin lupa bahwa ia sering mengajak seseorang untuk menemaninya pulang ke Busan.

"Ibu mengira kau tidak pulang sendiri, Jimin."

"Ah, benar. Aku hanya sedang ingin sendiri, Bu. Kalau begitu, aku mandi dahulu." Jimin memilih untuk mengakhiri obrolan daripada harus mendengar pertanyaan dari ibunya. Sebab ia bingung bagaimana menjawabnya.

Pesta ulang tahun Tuan Park berjalan dengan lancar dan ramai meski hanya ada istri dan dua putranya—Park Jihyun adik Jimin. Ia bahagia karena putra sulungnya menyempatkan untuk pulang. Kendati itu hanya dua malam karena masih ada urusan kantor yang harus diselesaikan Jimin.

"Kau makan dengan baik, kan, Jimin?" tanya Nyonya Park.

"Ya. Aku makan dengan baik, Bu."

"Apa di sana sulit? Hanya karena kau merantau bertahun-tahun di kota besar, jangan beranggapan sungkan untuk pulang. Rumah ini, akan selalu menyambutmu seperti biasanya. Jika sulit, tidak apa-apa untuk pulang. Jangan memaksakan diri."

Nyonya Park bicara panjang sambil melipat pakaian yang dibawa Jimin tanpa melihat ke arah putranya. Namun, memang begitulah cara wanita bernama Shin Aera itu menunjukkan kepeduliannya pada sang putra. Kendati Jimin tidak bercerita, ia tahu, putranya tengah ada masalah.

ChorusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang