56. Hidden

840 98 32
                                    

(Revisi-31 Oktober 2021)

*

Enam kaleng soda saling dibenturkan oleh masing-masing pemilik tangan sebelum isinya diminum untuk melepas dahaga kerongkongan. Kali ini, menu makan siang bukan dari kafetaria perusahaan yang telah disediakan secara gratis, melainkan bekal makanan yang dibuatkan oleh istri tercinta keenam pria paruh baya itu.

Gelak tawa mereka mampu menular bagi siapa pun yang mendengarnya. Pria-pria itu bercerita random, mulai dari pekerjaan hari ini, informasi cuaca, berita luar negeri hingga ranah pribadi seperti keluarga.

"Itu anakmu, Park Jinyoung-ssi?" Jari telunjuk milik Min Taekwang menunjuk ke arah photocard yang terselip di karet pelindung gawai. Photocard itu memperlihatkan sosok bocah laki-laki mengenakan seragam SMP tengah tersenyum ke arah kamera. Senyumnya sangat lebar hingga matanya membentuk garis lurus bak bulan sabit.

"Ya, ini putra semata wayangku, Park Jimin, permata di keluargaku," jawab Park Jinyoung.

"Kelas berapa sekarang?" sahut rekan yang lain, namanya Jung Gongchan.

"Tahun ini tahun keduanya di SMA."

"Sebentar lagi kelas tiga. Persiapkan uang yang banyak, Jinyoung-ssi, selagi putramu masih kelas dua. Uang kuliah sekarang mahal," saran Park Jungsoo.

"Kau benar, Jungsoo-ssi. Putraku sendiri juga sangat ingin kuliah setelah lulus."

Jinyoung tersenyum tipis. Ia mendadak teringat dengan kondisi perekonomian di rumahnya. Dari pagi, siang, hingga malam banting tulang rasanya seperti sia-sia. Bukannya berkurang, utang malah berkembang. Jinyoung sudah melakukan cara gali lubang tutup lubang yang justru menyusahkan ia sendiri.

Namun, melihat senyum sang putra yang selalu menyambutnya pulang, membuat perasaan lelah Jinyoung menguar. Jimin-lah semangatnya, sumber kekuatannya selain istri tercinta, Shin Nara. Bagaimana pun caranya, ia ingin putranya mengenyam bangku pendidikan setinggi mungkin. Bukan untuk mengangkat derajat orang tuanya, tetapi demi Jimin sendiri. Ia harus lebih sukses dan tidak boleh hidup susah seperti orang tuanya. Begitulah pikiran Park Jinyoung.

"Haish ... segera makan makananmu, Jinyoung-ssi. Kenapa suram begitu? Tenang saja, uang akan datang sendiri jika kita rajin berdoa dan berusaha. Ayo makan, makan ..." seru Gongchan.

"Sekarang juga banyak beasiswa. Anakmu kan selalu juara kelas, ia pasti bisa mendapatkan beasiswa," sambung Kim Dohee, tetangga Park Jinyoung yang juga mengenal baik bagaimana tumbuh kembang Jimin. Anak mereka satu sekolah dan berteman baik.

"Kalian benar. Aku harus mengisi tenaga untuk permata keluargaku."

Suara tawa pun kembali terdengar. Keenam pria paruh baya itu melanjutkan sesi makannya. Mungkin posisi mereka bukan di ruang ber-ac ataupun duduk di balik kubikel. Namun, posisi mereka sama pentingnya, meskipun sering kali dipandang sebelah mata oleh sejumlah pegawai di perusahaan tersebut. Park Jinyoung dan kelima rekannya adalah petugas kebersihan di Min Corp, salah satu perusahaan ternama di Korea Selatan, yang bergerak dalam bidang alat rumah tangga.

Waktu istirahat yang diberikan hanya satu jam. Lima belas menit sebelum habis, keenam pria itu turun untuk kembali bersiap bekerja. Mereka memang sudah biasa, makan di atap bangunan yang tempatnya tidak banyak diketahui atau jarang dikunjungi pegawai lainnya.

Sayangnya, keenam pria paruh baya itu tidak tahu jika ada seseorang yang mendengarkan obrolan mereka dari awal hingga akhir. Bermaksud untuk melepas penat sambil tidur siang dengan suasana baru, suara ocehan justru mengganggu waktu istirahat pria berkulit putih pucat.

ChorusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang