72. Felicity || End

575 78 32
                                    

Kim Taehyung yang berdecak kesal cukup mencuri perhatian Jimin sebentar, lalu pemuda itu kembali gusar. Sejak seminggu yang lalu, pria yang meminta nomornya tak kunjung menghubungi. Siapa lagi kalau bukan Min Yoongi. Jimin mengadu pada sahabatnya, Taehyung si aktor populer di dunia perfilman. Namun, bukannya menenangkan, Taehyung justru memberikan komentar buruk akan sosok Yoongi.

"Sudah aku katakan ia mempermainkanmu, Jimin. Yoongi meminta nomormu, lalu menjualnya demi keuntungan."

"Itu alasan yang tidak masuk akal, Taehyung."

"Lalu kenapa ia tidak segera menghubungimu?"

Akan lebih lelah meladeni ucapan Taehyung. Jadi, Jimin memilih diam sambil melihat pemandangan kota Tokyo yang sibuk, sesibuk pikirannya memikirkan Yoongi. Sudah seminggu ia di Jepang untuk menjalani pemotretan. Kebetulan Taehyung juga memiliki projek di Negeri Sakura ini sehingga ia bisa menyempatkan diri bertemu Jimin di hotel tempat model itu menginap.

"Kau tidak sungguhankan saat mengatakan tertarik dengannya?" kata Taehyung tiba-tiba.

"Memangnya kenapa?" Jimin lekas menoleh ke arah sahabatnya.

"Pekerjaannya—"

"Ada apa dengan pekerjaan Yoongi?"

Jimin sedikit tersulut. Nada bicaranya lebih tinggi. Ia tahu ke mana arah ucapan Taehyung. Lagi-lagi ia memintanya untuk mempertimbangkan lantaran profesi Yoongi hanya sekadar koki.

"Jimin, kau tahu kan—"

"Aku tidak tahu, Kim!"

Jika sudah memanggilnya begitu, artinya Jimin kesal. Alarm bagi Taehyung agar diam saja. Namun, untuk kali ini tidak bisa. Taehyung khawatir jika Jimin hanya dimanfaatkan, mengingat bagaimana populernya sang kawan sebagai model. Terlebih, Jimin miskin pengalaman berkencan. Jangankan pacaran, jatuh cinta pun tidak pernah. Oleh sebab itu, ia tak ingin pengalaman pacaran pertama Jimin dengan orang yang salah.

"Kau baru bertemu pertama kali dan mengobrol beberapa jam. Itu tidak bisa digunakan untuk menilai 100 persen bahwa Yoongi orang baik."

"Dan kau juga tidak bisa menggunakannya untuk menyebut Yoongi sebagai orang jahat. Kau hanya mendengar dari ceritaku, Taehyung."

"Aku hanya khawatir, Jimin," aku Taehyung.

"Aku tahu itu, tetapi aku juga membutuhkan dukunganmu."

Taehyung menghela napas. Ia mengenal Jimin lebih dari 15 tahun dan ia adalah sosok berkemauan kuat jika sudah menyangkut kata hati. Mudahnya, Jimin adalah anak yang lebih mengutamakan perasaan.

"Aku mendukungmu selama itu membuatmu bahagia dan tidak menyakitimu," final Taehyung.

"Terima kasih, Taehyung."

"Dan satu lagi, apa keputusanmu yang lain sudah bulat?"

Jimin menatap mata Taehyung kian detik kemudian kepalanya mengangguk. Setelah itu, disusul Taehyung yang menepuk pundaknya.

*

*

*

"Apa aku belum boleh pulang?" rengek Yoongi pada Jiyoon.

"Dua hari lagi, Kak. Dokter sudah mengatakan dua jam yang lalu dan kau masih bertanya?" ketus Jiyoon.

Adik mana yang tidak panik ketika mendapat kabar bahwa kakaknya kecelakaan. Jika masih bisa ditempuh darat, Jiyoon akan langsung pergi ke rumah sakit tempat kakaknya dirawat. Sayangnya, ia sedang berada di belahan dunia lain dan tidak bisa meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Beruntung timnya memberi Jiyoon keringanan. Dua hari kemudian ia baru bisa berjumpa dengan kakaknya yang dalam kondisi memprihatinkan. Kaki Yoongi harus diperban begitu pula kening di bagian kiri.

ChorusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang