98. Strong Desire || End

470 55 6
                                    

Setelah menghabiskan malam romantis di rumah baru--hadiah dari Yoongi, Jimin merajuk pada kekasihnya agar mereka kembali pulang. Jimin masih ingin tinggal di apartemen yang merupakan hasil jerih payahnya. Bukan berarti ia tidak menghargai hadiah dari Yoongi, tetapi siklus pindah yang terlalu tiba-tiba membuatnya tak nyaman. Beruntung Yoongi memahami perasaan Jimin.

Niatnya hanya ingin membeli satu bahan masakan yang habis dan Jimin berjanji akan kembali sebelum Yoongi bangun. Namun, siapa sangka Jimin malah berakhir di kamar besar begitu ia membuka mata. Ini bukan kamar di rumah Yoongi, pikir Jimin waktu itu. Otaknya berpikir cepat, apakah ia diculik? Apakah ia tengah menjalani adegan di novel-novel yang pernah disunting? Ia kekasih seorang mafia, kemungkinan besar memang iya.

Seperti alur novel yang kusunting tiga tahun lalu.

Kewaspadaan membuat Jimin bersikap pelan. Ia mencoba memutar kenop pintu dan siapa sangka ruangan ini tidak terkunci. Begitu berhasil keluar dengan mengendap-endap, Jimin dikejutkan dengan suguhan kemewahan rumah ini.

Kenapa aku selalu dikelilingi orang-orang kaya? Memangnya apa pekerjaan mereka?

Rumah ini besar, lebih besar dari rumah barunya. Tiap sudut terlihat mewah, mulai dari lampu, tiang penyangga, lantai yang diinjak Jimin, hingga tangga bak istana. Kira-kira siapa yang menculiknya? Apakah musuh Yoongi.

Apa aku akan mati?

"Sudah bangun ternyata."

*

*

*

Mandi. Itulah perintah mutlak dari wanita yang menyapanya tadi. Wanita dengan perawakan anggun, tetapi punya aura dominan begitu kuat. Jimin bukannya takut dengan wanita yang entah siapa namanya itu, tetapi dua pengawal di belakang memberinya tatapan intimidasi. Seolah menyuruh Jimin untuk menurut atau ia akan dibuat larut.

Lebih segar dan pakaiannya baru. Jujur saja, Jimin merasa lebih nyaman usai mandi. Sialnya, hidangan di meja makin mengundang pemberontakan di perut. Wanita itu mengajaknya makan siang. Ah ... pantas Jimin begitu lapar. Ternyata ia melewatkan sarapannya. Teringat dengan hal tersebut, mimik Jimin berubah mendung. Harusnya ia sarapan sup ayam dengan Yoongi, tetapi ia justru di sini.

"Siapa kau?" tanya Jimin dengan berani. Ia sempat terlena. Bisa saja ada racun yang sudah dicampurkan di makanan ini.

"Kau cukup manis. Pantas saja Suga berpaling dariku." Bora duduk di seberang Jimin. Mereka terpisah dengan meja makan cukup besar dan tentu saja mewah.

Suga? Bukankah itu nama yang digunakan Yoongi di dunia mafia? Mungkinkah wanita ini bagian dari mereka?

"Siapa kau dan untuk apa menculikku?" tanya Jimin sekali lagi.

"Kau bisa memanggilku ... Bora."

"Jadi, Nona Bora, kenapa kau menculikku?"

"Menurutmu apa, Editor Park?" Bora bertanya dengan main-main. Satu anggur ungu disuapkan di bibir merah meronanya.

Jimin mengamati tingkah Bora yang memandangnya dengan angkuh. Bora terus-menerus memakan anggur tanpa berniat menjawab pertanyaan Jimin.

"Kau menyukai Yoongi?" tebak Jimin.

"Oh astaga bahkan ia memperkenalkan diri dengan nama aslinya?"

"Sayangnya aku tidak akan melepaskan Yoongi."

Bora mengubah posisi duduknya. Jari-jari tangannya dikaitkan untuk menopang dagu. Ia tatap lamat-lamat Jimin, begitu pula sebaliknya.

"Bahkan dengan masa lalunya? Editor Park, kau tahu betul jika dunia kalian sangat berbeda bukan? Kau tidak lelah berpacaran dengan seseorang yang sisi dunia lainnya adalah kegelapan?"

ChorusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang