Chapter 6 : Akhir Pekan

207 34 0
                                    

Keesokan harinya...

Fox Street No. 10

Rumah Naruto

Matahari belum juga menampakkan diri pagi itu ketika suara senandung terdengar di salah satu kamar yang menyala di salah satu rumah mungil di perumahan itu. Sungguh aneh mengingat hari itu adalah akhir pekan, yang biasanya dimanfaatkan orang-orang untuk bangun lebih siang. Tapi itu rutinitas yang biasa bagi Naruto Uzumaki. Pemuda pirang itu bahkan sudah bangun sebelum para ayam jantan sempat berkokok.

Sekarang ia berdiri di depan cermin setinggi badan di kamarnya yang seperti kapal pecah, memandangi bayangannya. Ia tersenyum puas menatap jajaran otot yang menghiasi tubuh bagian atasnya yang terbuka. Tidak sia-sia rupanya latihan sepakbola yang dijalaninya dengan teman klub sepakbola-nya selama ini. Dan juga latihan tambahan angkat barbel di rumah.

"Bagaimana ya, kira-kira tanggapan Sakura kalau dia melihat tubuhku yang seperti ini?" ia bertanya pada dirinya sendiri, membayangkan wajah Sakura yang bercahaya penuh kekaguman dalam kepalanya. Naruto nyengir lebar. Lalu ia mengangkat lengannya, membuat bisepnya berkontraksi membentuk gumpalan otot macho di atas lengannya yang sebenarnya agak kurus. "Whihi... kau keren sekali, Naruto!"

Ia menoleh ketika telinganya menangkap suara tawa kecil dari ambang pintu. Ayah angkatnya, Iruka Umino, berdiri bersandar pada pintu yang dibiarkan terbuka oleh pemiliknya. Pria berwajah ramah itu tersenyum melihat tingkah anak adopsinya. Kedua tangannya terlipat di depan dada.

Naruto buru-buru menurunkan tangannya. "Pap!" seru Naruto. Wajahnya memerah. "Sejak kapan ada di sana?"

"Sudah sejak tadi," sahut Iruka dengan nada geli.

Naruto langsung bersungut-sungut. Meskipun Iruka adalah ayah angkatnya dan mereka sudah tinggal satu rumah sejak ia kecil, tapi tetap saja-memalukan ditemukan sedang berada dalam posisi seperti itu.

"Kenapa mesti malu, Naruto?" kekeh Iruka sambil melangkahkan kaki ke dalam kamar putra angkatnya dan berjalan ke sisi Naruto, ikut menatap ke arah cermin. "Ow! Tinggimu hampir melebihiku!"

Masih cemberut, Naruto sekali lagi menatap cermin. Dan memang benar, tinggi mereka hampir sama kalau dilihat berdiri berdampingan seperti itu. Mereka lebih tampak seperti kakak-adik dibanding ayah-anak.

Kemudian Naruto menyadarinya. Ada lingkar hitam di bawah mata Iruka, dan wajahnya yang tampak agak cekung. Lelah.

"Aku membangunkanmu lagi, ya?" tanya Naruto agak merasa bersalah, mengingat betapa sibuknya ayah angkatnya itu seminggu belakangan. Pagi mengajar di sekolah dasar, pulang hanya untuk makan siang sembari memeriksa PR atau lembar ulangan murid-muridnya dan sorenya mengajar les. Belum lagi harus mengunjungi panti setidaknya tiga hari sekali. Tidak heran kalau wajah ramah itu hampir selalu tampak lelah.

"Tidak juga," sahut Iruka, senyuman masih tersungging di wajahnya. Namun Naruto tahu ayahnya berdusta. Iruka sangat peka terhadap suara sekecil apapun. Mendengar suara sedikit saja pasti akan membuatnya terbangun.

Naruto buru-buru melesat untuk mematikan tape-nya.

"Sori, Pap!" pemuda itu nyengir minta maaf.

"Tak apa," sahut Iruka.

Naruto makin merasa tidak enak. Ia merasa lebih baik kalau Iruka memarahinya karena berisik.

"Tidak usah khawatir. Aku sudah kebanyakan tidur kemarin," Iruka buru-buru menambahkan. Rupanya ia menyadari ekspresi tak enak Naruto. "Hei, bagaimana kalau kita joging? Sudah lama kan kita tidak joging bareng?" usulnya.

"Oke!" sahut Naruto cepat sambil menyambar kaus oblong hitam bergambar spiral di bagian dadanya. "Aku memang mau joging," tambahnya sambil menjebloskan kausnya yang sudah agak melar itu ke kepala.

L'amis Pour ToujoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang