"Jadi pelayan tidak masuk dalam rencana!" desis Sasuke jengkel keesokan harinya. Naruto baru saja memberitahunya dan Sai tahap kedua rencana mereka—lebih tepatnya, rencananya sendiri—dimana mereka akan membantu menjadi pelayan di restoran Sakura. Pagi itu mereka sudah berkumpul di lapangan parkir Blossoms' Café yang belum buka. Sai sedang bersandar santai pada Porsche merahnya, menonton pertengkaran kecil kedua temannya dengan kedua lengan terlipat di depan dada.
Naruto hanya nyengir tanpa dosa. "Well, ya.. sori. Tapi menurutku tampang kalian berdua lumayan untuk menarik pengunjung—"
"Kau pikir kami patung selamat datang?"
Naruto mengabaikannya, dan melanjutkan, "…terutama untuk menarik para gadis. Ouw! Apa itu maksudnya?!" Mata birunya memelototi Sasuke yang baru saja mendaratkan jitakan telak di kepala pirangnya sementara tangannya mengusap-usap kepalanya—yang sepertinya akan benjol dalam beberapa detik.
"Kau pantas mendapatkannya!" dengus Sasuke. "Idiot! Kenapa tidak bilang sebelumnya?"
"Bilang atau tidak bilang tidak akan ada bedanya, kan?" Naruto bersungut-sungut, masih mengusap-usap kepalanya. "Jadi kau mau melakukannya atau tidak?"
Sasuke melempar pandangannya berkeliling lapangan parkir yang kosong itu sementara ia mempertimbangkan lagi. Selama ini tidak pernah terpikirikan olehnya akan melakukan hal seperti ini—maksudnya menjadi pelayan restoran. Mengenakan seragam, tersenyum dan bicara ramah sepanjang waktu untuk melayani pelanggan. Oke, bukannya ia tidak suka bersikap ramah, ia hanya tidak terbiasa. Belum lagi… Euh… Menarik para gadis, huh? Hanya dengan memikirkannya saja sudah membuat Sasuke merinding. Ia bukannya tidak suka pada mereka, tapi entah mengapa ia seringkali mereka ia memiliki sesuatu yang membuat cewek-cewek itu berubah menjadi monster—bukan dalam artian yang sebenarnya, tentu saja—yang siap menelannya bulat-bulat.
Tapi… ini untuk Sakura, kan? Lagipula ini tidak akan selamanya. Untuk membantu Sakura, tidak ada salahnya sesekali tidak mementingkan ego sendiri, bukan? Memasang tampang ramah, bicara sopan dan menghadapi para monster.. er… maksudnya mereka… Sepertinya itu bukan hal besar, eh? Dibandingkan dengan…
Dengan.. um…
Sasuke merasakan suhu di wajahnya menghangat di udara yang dingin menggigit. Ia menggelengkan kepalanya cepat-cepat, lalu menoleh pada Naruto dan Sai yang menunggu jawabannya. Dengan helaan napas panjang, ia akhirnya menjawab,
"Baiklah. Aku ikut."
Naruto nyengir puas, lalu ganti memandang Sai. "Sai?"
"Tentu saja. Kenapa tidak? Ini kan untuk membantu teman," sahut cowok itu sambil tersenyum.
"Bagus… Aw…" Naruto mengernyit, mengusap-usap kepalanya. Mata birunya berair. "Damn! Sasuke. Kau pernah ikutan bela diri, ya? Kepalaku jadi pusing, tahu!"
Sasuke mengangkat bahu dengan cuek. "Taekwondo?"
Naruto memelototinya, kemudian mengumpat pelan. Sai tertawa kecil.
Tak lama kemudian, pintu depan restoran itu membuka dan salah seorang pegawainya, Kotetsu, muncul. Pria berambut gelap itu memberi isyarat pada ketiga remaja itu untuk masuk.
Yamato, Izumo, Kotetsu, Isaribi, Iwashi, Ayame dan Paman Teuchi sudah berada di sana saat mereka melangkahkan kaki masuk. Paman Teuchi, yang bisa dibilang wakil ibu Sakura di sana, terlihat sangat senang dengan niat baik ketiga sahabat Sakura itu. Mereka kemudian membicarakan apa rencana mereka setelah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amis Pour Toujours
Teen FictionBefore the graduation. Konyol memang, jika Sakura mengingatnya kembali sekarang. Tapi ia tak akan pernah menyesalinya. Hari ketika Naruto memutuskan untuk melayangkan tinjunya pada Sasuke di koridor sekolah adalah hari bersejarah dalam hidupnya. Ha...