Semilir angin dingin musim gugur bertiup perlahan, menggulirkan dedaunan kering di sekeliling kakinya. Tapi dia masih saja terdiam di tempatnya, tidak peduli pada apa pun di sekelilingnya. Dan yah... memang tidak ada yang patut untuk dipedulikan di tempat macam itu, tempat yang nyaris selalu senyap dari hiruk-pikuk. Kecuali kalau ada yang baru saja kehilangan seseorang yang berarti. Seperti dia... beberapa bulan yang lalu.
Dan sampai sekarang pun dia masih berkabung.
Sai menarik napas dalam-dalam, lalu menghebuskannya perlahan-lahan lewat mulut. Hal yang selalu dilakukannya setiap ia merasa tegang-hal yang diajarkan terapisnya. Perlahan, mata hitamnya membuka dan ia menunduk, menatap nisan pualam yang masih baru itu.
"Selamat pagi, Kakak," ucapnya lirih seraya berlutut di depan nisan sang kakak. Diletakkannya buket bunga lili putih yang dibawanya di depan nisan itu. Kemudian dengan jemari yang gemetar, Sai menyentuh ukiran nama kakaknya di sana. Shin. "Maafkan aku tidak pernah menjengukmu, Kak," lanjutnya, masih dengan nada lirih yang sama, "Tapi sekarang aku datang, kan? Jadi kau tidak perlu marah lagi padaku." Ia terdiam, matanya memanas. "B-bagaimana kabarmu, Kak?"
Ini adalah kali pertama Sai kembali mengunjungi makam Shin sejak kakaknya itu meninggal beberapa bulan yang lalu karena sakit. Selama ini, Sai selalu menolak pergi ke sana-tempat di mana kakak yang juga orang yang paling dekat dengannya, terbaring dalam tidur panjangnya yang damai. Masih terlalu berat baginya untuk mempercayai kalau kakaknya sudah pergi meninggalkannya, meninggalkan dunia, selamanya dan tidak akan pernah kembali lagi.
Dan hari itu, tidak tahan lagi menerima tekanan dalam dirinya sendiri, Sai memutuskan untuk menginjakkan kakinya lagi di tempat itu. Mencoba mencari sandaran pada sosok Shin yang pada kenyataannya sudah tidak ada lagi. Dan kenyataan ini kembali menghantamnya telak.
Tangannya gemetar mencengkeram sisi nisan Shin, kepalanya serasa berputar, jantungnya berdegup cepat. Sai mendudukkan diri samping makam sementara tangan merogoh ke dalam mantel hitamnya, mengambil sebuah botol kecil. Dikeluarkannya sebutir pil kecil dari dalam botol dan langsung ditelannya. Ia memejamkan mata, menunggu obatnya bereaksi.
"Kau bisa melihatku dari atas sana kan, Kak?" ucapnya parau selang beberapa lama setelah tubuhnya sudah lebih rileks. Ia membuka matanya lagi, mendongak, menatap awan putih yang berarak di atasnya. "Kau lihat, aku sangat kacau... Aku yang sekarang... membutuhkan obat sialan ini untuk mencegah kepalaku pecah. Dan ini semua karena salahmu. Kau lihat apa yang kau lakukan padaku, Kak? Kau pergi dan aku tidak bisa melukis lagi. Kau pergi dan hidupku menjadi tidak terkendali seperti ini. Dan..." suaranya memelan, nyaris berbisik, "kakek belum bicara lagi padaku."
Kenyataannya Sai memang menjadi sangat kesepian semenjak Shin meninggal -meskipun ia sama sekali tidak mengakui, bahkan menyadarinya pun tidak- yang selama ini nyaris tidak pernah bergaul dengan orang luar selain dokter dan keluarganya, tidak mengerti ketika perasaan kosong itu datang padanya. Kesepian itu sendiri sudah mengerikan, terlebih kalau tidak menyadari kalau kita kesepian. Dan menjauhnya seseorang yang merupakan satu-satunya keluarganya yang tersisa membuat segalanya menjadi lebih buruk.
"Kakak," suara Sai terdengar parau ketika ia bicara lagi, "beritahu aku, apa yang harus aku lakukan?"
"Untuk sementara aku ingin kau menuliskan semua yang kau rasakan-apa saja yang membuatmu tertekan, di buku harian." Ia teringat perkataan dokternya. Dan itulah yang ia lakukan kemudian, seperti yang sudah sering dilakukannya semenjak terapinya yang terakhir. Ia kembali merogoh ke dalam mantelnya dan menarik keluar sebuah buku kecil bersampul kulit serta sebuah bolpoint.
Ia membuka-buka buku yang telah dipenuhi tulisannya selama beberapa hari sejak terapi terakhirnya sebelum akhirnya menemukan sebuah halaman kosong, lalu mulai menulis segalanya yang mengganggu pikirannya. Segalanya yang membuatnya merasa tertekan, seperti yang dianjurkan oleh dokter Yakushi kepadanya. Segalanya tentang kakaknya, segalanya tentang kakeknya, segalanya...
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amis Pour Toujours
Teen FictionBefore the graduation. Konyol memang, jika Sakura mengingatnya kembali sekarang. Tapi ia tak akan pernah menyesalinya. Hari ketika Naruto memutuskan untuk melayangkan tinjunya pada Sasuke di koridor sekolah adalah hari bersejarah dalam hidupnya. Ha...