Chapter 38 : Menjenguk Naruto

160 22 2
                                    

Root Hills

Hujan yang mengguyur Konoha sejak pagi belum juga menampakkan tanda-tanda akan segera berhenti siang itu. Malah, nampaknya hujan yang tadinya tidak terlalu deras perlahan mulai bertransformasi menjadi badai yang sanggup menggetarkan jendela-jendela kokoh di salah satu rumah besar di Root Hills itu.

Sai menghembuskan napas panjang sambil menatap ke jendela tinggi kamarnya yang bergetar diterpa air hujan dan bayangan pohon besar yang bergoyang mengerikan di luar. Akhirnya ia kembali lagi di tempat ini, pikirnya. Rumah besar nan dingin yang telah ditinggalkannya selama beberapa minggu setelah pertengkarannya dengan sang kakek. Rumah penuh kenangan sekaligus rumah yang dibencinya-tapi sekarang sudah tidak lagi.

Ia tersenyum saat teringat pembicaraannya dengan sang kakek semalam. Pada awalnya Sai sempat tegang dan cemas kalau-kalau ia akan meledak emosi lagi. Tapi betapa terkejutnya ia-sekaligus senang-ketika obrolan yang awalnya kaku itu perlahan mencair. Sai tidak terlalu mengharapkan kakeknya berubah menjadi kakek-kakek pada umumnya, yang akan memeluk dan memperlakukan cucunya dengan penuh kasih sayang. Tapi setidaknya sekarang kakeknya itu sudah mau mendengarkan pendapatnya, alih-alih bersikap otoriter seperti sebelumnya. Ia juga tidak lagi memaksa Sai kembali ke Akademi dan menghargai keinginan cucunya itu untuk tetap bersekolah di sekolah umum. Dan yang paling mencengangkan Sai adalah ketika kakeknya itu meminta maaf padanya dengan mata agak basah-meskipun Danzou berusaha menutupinya dengan berpura-pura menunduk dan mengelap kacamata plusnya. Ia sama sekali tidak tahu bahwa Sai melihatnya.

Sebenarnya semua perubahan itu mulai terlihat saat Sai masuk rumah sakit. Ia bisa melihat bagaimana sang kakek begitu mencemaskan keadaannya; meskipun ia lebih banyak diam dan hanya menanyakan, "Bagaimana keadaanmu?" setiap kali menjenguk, ia bisa melihat kecemasan itu dalam matanya. Dokter Yakushi juga memberitahunya bagaimana kakeknya itu memohon supaya Sai mendapatkan perawatan yang terbaik.

"Dia memang dingin kadang-kadang, Sai," kata dokter Yakushi saat itu, "Dan dia barangkali membuat kesalahan dengan tidak memperlakukanmu sebagaimana kau layak diperlakukan. Tapi dia tetap kakek-kakek biasa yang sayang pada cucunya. Percaya padaku, Sai. Dia menyayangimu."

Dan Sai kini sedang berusaha mempercayainya dengan sepenuh hati. Dengan semua perubahan itu, ia berharap hubungannya dengan sang kakek akan segera membaik. Ah, dan ia juga telah membuat catatan imajiner dalam kepalanya untuk mengucapkan terimakasih pada dokter Yakushi yang telah berperan besar dalam hal ini. Juga Naruto.

Danzou banyak menyebut mereka berdua dalam pembicaraan mereka semalam. Bagaimana dokter pribadinya itu tidak pernah berhenti memberinya kabar soal perkembangan Sai, juga membuatnya sadar kalau cucunya itu jauh lebih berharga dibandingkan gengsinya sebagai seorang seniman besar. Ia sudah kehilangan satu orang cucu yang sangat dikasihinya, dan betapa menakutkannya baginya menyadari bahwa satu-satunya penerusnya nyaris meninggalkannya juga.

Dan Naruto...

Sai sama sekali tidak menyangka kakeknya akan memerhatikan Naruto seperti itu. Padahal, sejauh yang ia tahu setiap kali Danzou dan Naruto bertemu di rumah sakit, kakeknya itu selalu bersikap dingin, bahkan seperti tidak memedulikan kehadiran Naruto di sana. Tapi rupanya tidak begitu.

"Temanmu itu, yang rambutnya pirang, sepertinya dia anak yang baik," Sai tersenyum ketika teringat kata-kata Danzou tentang Naruto semalam, "Selain dengan Shin, aku tidak pernah melihatmu tersenyum seperti itu. Tapi dengan anak itu-siapa namanya? Ah, iya, Naruto Uzumaki- aku seperti melihat kehadiran Shin kembali di sisimu." Sai hampir tidak percaya mendengar nada yang begitu tulus dari suara serak sang kakek, terlebih saat senyum tipis membayang di wajah tuanya yang dingin. "Undanglah dia ke rumah kapan-kapan, Nak."

L'amis Pour ToujoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang