Sai meninggalkan ruang pemeriksaan dengan wajah berseri siang itu. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi dengan kondisi kesehatannya, setidaknya itulah yang diberitahukan dokter yang memeriksanya barusan. Mereka hanya mengganti perban yang menutupi luka jahit di atas alisnya dengan perban yang lebih tipis dan setelah itu semuanya akan oke. Ia siap kembali ke sekolah besok.
Menghembuskan napas lega, Sai berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Ia mengerling arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Seharusnya jam-jam segini sekolah sudah bubar, pikirnya. Sakura pastilah sedang dalam perjalanan kemari…
"Sai?" suara sapaan yang sudah sangat familier itu membuat cowok itu menoleh.
Dokter Kabuto Yakushi baru saja keluar dari pintu ruangan bagian pediatric. Ia tidak mengenakan jas dokternya melainkan pakaian santai dan ia membawa seorang batita laki-laki berambut cokelat tipis dalam gendongannya. Akio Yakushi, Sai mengenali bocah gembil yang sedang mengalungkan lengannya ke leher sang ayah. Matanya merah seperti baru menangis. Di belakang mereka, Michiko Yakushi, istri dokter muda itu muncul. Wanita itu masih sama anggunnya seperti yang ia ingat.
"Ah, selamat siang, Dokter Yakushi," balas Sai. Ia berjalan mendekat pada keluarga kecil itu. "Selamat siang, Michi, Akio," Sai membelai kepala lembut bocah dalam gendongan sang dokter.
"Sai," ucap Michiko sambil tersenyum. "Senang bertemu kau lagi."
"Aku juga," Sai membalas senyumnya.
"Baru selesai check up, kukira?" tanya dokter Yakushi. "Bagaimana kabarmu?"
"Sudah lebih baik, Dok. Mereka bilang aku sudah bisa mulai masuk sekolah besok. Aku sudah tidak sabar…"
"Itu bagus. Ah, kami baru saja mengimunisasikan Akio," dokter Yakushi mengerling ruangan bagian anak di belakangnya. "Kami berencana makan siang di Konoha City Square setelah ini. Kau berminat bergabung?"
"Terimakasih, Dok," tolak Sai halus seraya melempar senyum menyesal, "Pasti akan sangat menyenangkan. Tapi saya tidak bisa."
"Ah, kau ada rencana lain?" tebak sang dokter.
Sai mengangguk. "Saya harus menjenguk seorang teman."
Mendengar kata 'teman' dari mulut salah satu klien-nya yang antisosial itu membuat dokter muda itu menyunggingkan senyum. Sepertinya terapi yang diberikannya pada Sai memang membuahkan hasil yang sangat baik. Shin pastilah senang sekali kalau melihat ini dari atas sana, pikirnya.
"Sayang sekali, Sai," kata Michiko dari samping suaminya. "Tapi lain kali kau harus mampir ke rumah, ya. Akio pasti senang sekali kalau bisa bermain lagi denganmu." Wanita itu mengulurkan tangan membelai putranya dengan penuh cinta. Akio mengeluarkan suara manja seraya menggapai-gapai ke arah ibunya dari bahu ayahnya. Dokter Yakushi tertawa, lalu mencium lembut sisi kepala putranya. Akio tertawa kegelian.
Sai tersenyum melihat adegan sarat kasih sayang di depannya itu. Ini memang bukan pertama kalinya ia menyaksikan ini, tapi tetap saja, ada perasaan nyaman dalam hatinya. 'Apa ayah dan ibuku dulu juga begitu, ya?' ia bertanya-tanya dalam hati.
"Baiklah, Sai. Kalau begitu kami pergi dulu, ya," pamit sang dokter.
Kemudian keluarga kecil itu berjalan menjauh ke arah lift. Terdengar bunyi dentingan ketika lift itu membuka. Sai baru saja akan berbalik untuk melanjutkan perjalanannya ke kamar rawat Naruto ketika ia melihat seorang gadis berambut merah muda baru saja keluar dari lift. Gadis itu mengangguk sopan ketika berpapasan dengan dokter Yakushi sebelum akhirnya ia menoleh ke arah Sai.
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amis Pour Toujours
Teen FictionBefore the graduation. Konyol memang, jika Sakura mengingatnya kembali sekarang. Tapi ia tak akan pernah menyesalinya. Hari ketika Naruto memutuskan untuk melayangkan tinjunya pada Sasuke di koridor sekolah adalah hari bersejarah dalam hidupnya. Ha...