Beberapa hari telah berlalu sejak akhir pekan dan situasi diantara empat sahabat itu tidak mengalami banyak perubahan. Justru kerenggangan itu kian terasa. Bukan hanya karena kesibukan masing-masing yang membuat mereka jarang melewatkan waktu bersama seperti sebelumnya, namun juga konflik yang tidak kunjung terselesaikan. Tepatnya, tak ada satu pun dari mereka yang mau berbesar hati untuk memulai percakapan terlebih dahulu.
Dan Naruto belum pernah merasa sekecewa ini pada Sasuke. Padahal sejak pembicaraannya dengan Sasuke dan melihat betapa menyesal sepertinya ia, Naruto berharap sahabatnya itu mau sedikit mengalah kali ini. Tidak hanya terhadap Sakura, tapi juga terhadap Sai.
Tapi ternyata tidak sesederhana itu. Entah apa yang membuat Sasuke begitu keras kepala.
Sikap Sakura tidak membuat segalanya lebih baik. Gadis itu selalu berlaku ketus, dingin dan mencemooh setiap kali ada Sasuke, seakan ingin menunjukkan bahwa ia belum lupa dengan sakit hatinya atas perkataan Sasuke tentang Neji beberapa hari sebelumnya. Ya, itu memang salah Sasuke, pikir Naruto. Tapi Sakura tidak seharusnya melakukan itu. Naruto mendapat kesan Sakura ingin membalas sakit hatinya.
Dan celakanya sepertinya itu berhasil –ah, sepertinya memang itulah alasan mengapa Sasuke berubah pikiran dan enggan mengalah. Cowok itu sudah terlanjur tersinggung juga.
Sai lain lagi. Sejak awal ia memang melancarkan perang dingin terhadap siapa pun yang menentang hubungan gelap-nya dengan Ino, terutama Sasuke yang paling menentangnya, juga Naruto kalau ia sudah mulai mengungkit-ungkit masalah itu. Cowok itu juga punya kebiasaan menghilang setiap jam istirahat, membuatnya menjadi sulit didekati –bahkan Sakura tidak tahu apa-apa sekali pun.
Naruto, yang notabene tidak punya masalah apa pun dengan siapa pun, merasa dirinya terjebak dalam situasi yang tidak mengenakkan. Cowok itu tidak tahu harus memihak pada siapa, dan tentu saja, sibuk memutar otak untuk memikirkan bagaimana caranya mendamaikan ketiga sahabatnya seperti sebelumnya sementara ia disibukkan dengan kewajibannya yang lain di sekolah.
Sejauh ini, belum ada satu pun usahanya yang berhasil. Tidak peduli mulutnya sudah berbusa-busa berusaha memancing obrolan, membuat lelucon, sampai memohon supaya mereka bisa sekedar duduk bersama di kantin dan menemaninya makan ramen, tetap saja tidak bisa. Ujung-ujungnya ia hanya bisa duduk berdua dengan Sasuke yang selalu tampang cemberut yang sama sekali tidak enak dipandang.
Bel pertanda jam istirahat makan siang berbunyi nyaring siang itu dan kelas yang tadinya hening itu mendadak riuh. Guru mereka beranjak meninggalkan kelas setelah mengumumkan tugas rumah yang harus dikerjakan. Tak lama para murid menyusulnya, membanjir di koridor yang semula sepi seraya mengobrol dan tertawa riang. Namun seperti yang sudah kerap terjadi beberapa hari belakangan, tak ada keriangan di sudut belakang ruang kelas tempat empat sahabat itu duduk.
Sasuke duduk menopang dagunya dengan tangan sementara wajahnya tertoleh ke arah jendela, tampak bosan. Sementara dari sudut matanya, ia mengawasi gadis berambut merah muda yang duduk di bangku tepat di depannya membereskan barang-barangnya sebelum meninggalkan kelas. Dan Sai, yang duduk di sebelah bangku si gadis, sudah mencangklengkan tasnya ke bahu. Tapi Naruto tidak akan membiarkannya kabur kali ini.
Pokoknya kali ini, tidak mau tahu apa yang bakal terjadi, Naruto sudah bertekad membuat ketiga sahabatnya saling bicara!
"Tunggu, Sai!" Naruto menyambar lengan Sai, menahannya. "Untuk kali ini saja, tahan bokongmu tetap di bangku itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amis Pour Toujours
Teen FictionBefore the graduation. Konyol memang, jika Sakura mengingatnya kembali sekarang. Tapi ia tak akan pernah menyesalinya. Hari ketika Naruto memutuskan untuk melayangkan tinjunya pada Sasuke di koridor sekolah adalah hari bersejarah dalam hidupnya. Ha...