Blossoms Street No. 28
Sakura membuka jendela kamarnya lebar-lebar lalu meregangkan tubuhnya seraya menghirup udara dalam-dalam. Senyum mengembang di wajahnya. Pagi itu udara terasa sejuk segar, sama sekali tidak menampakkan tanda-tanda akan turunnya hujan lebat seperti yang diramalkan di televisi. Cuaca yang benar-benar secerah yang diharapkannya.
Benar-benar sempurna, pikirnya sambil melambai riang, membalas sapaan tetangganya yang sepertinya baru saja selesai berjoging. Tapi kesempurnaan itu menjadi berkurang ketika ia teringat Ino yang terbaring di rumah sakit. Sakura menghela napas seraya bersandar pada kusen jendela, mengawasi seorang pria sedang berjoging dengan anjingnya melewati depan halaman rumahnya. Kalau saja Ino tidak sakit, mereka pastilah sedang lari pagi bersama-sama sekarang, gadis itu membatin sedih.
Ah, omong-omong soal Ino, Sakura baru ingat kalau semalam sahabatnya itu mengirimkan pesan singkat ke ponselnya. Sakura lantas bergegas meninggalkan sisi jendela dan berjalan mengitari ranjangnya untuk mengambil ponsel yang diletakkan di meja samping ranjang, lalu duduk di atas ranjangnya. Ia baru saja hendak membalas pesan Ino ketika didengarnya suara ibunya memanggilnya dari bawah.
"Sakura, sarapan dulu, sayang!"
"Ya, Bu. Sebentar lagi aku turun!" Sakura menyahut. Yah, nanti sajalah, pikirnya seraya melempar ponselnya ke ranjang dan beranjak menuju meja rias. Dengan cepat ia mengambil sikat rambut dan mulai menyisiri rambutnya yang panjang, menggulung dan menjepitnya di belakang kepala. Kemudian ia menyambar sweter longar yang disampirkan di punggung kursi belajar dan memakainya di atas piamanya sebelum melesat meninggalkan kamar.
Ayah dan ibunya sudah ada di sana ketika Sakura tiba di ruang makan. Hiroyuki sudah mengenakan seragam pilotnya—yang membuatnya tetap kelihatan gagah meski usianya sudah separuh baya—dan koper yang biasa dibawanya setiap kali berdinas ditaruh di dekat kursi. Ibunya tengah menuangkan secangkir kopi mengepul untuk ayahnya.
"Pagi, Yah, Bu!" sapa Sakura seraya berjalan mengitari meja untuk memberi ayah dan ibunya kecupan selamat pagi di pipi masing-masing sebelum duduk di kursinya yang biasa.
"Kau ada rencana apa hari ini, Sakura?" ayahnya menanyainya seraya mengambil wafel.
"Aku mau menjenguk Ino hari ini, Yah. Ayah tahu kan, dia dirawat di Rumah Sakit Konoha?" kata Sakura seraya mengambil wafel juga.
"Ya ya... Kakashi memberitahu ayah semalam. Salamkan dari ayah untuknya, ya, Sayang..." ucap Hiroyuki sambil tersenyum.
"Oke, Yah!" sahut Sakura ceria seraya mengacungkan ibu jari. Ia menuang madu banyak-banyak di atas wafelnya, lalu menyeruput sari jeruknya.
"Kau membesuk Ino sendirian nanti?" ibunya ganti menanyainya.
Sakura mengangkat bahu, lalu menjawab, "Belum tahu, Bu. Naruto tidak bisa, dia ada latihan bola. Barangkali aku mau mengajak Sasuke, tapi aku belum tanya dia bisa atau tidak."
"Sasuke? Pemuda tampan temanmu itu?" tanya Azami seraya menuang sari jeruk untuk dirinya sendiri. Matanya berkilat jahil ketika ia melirik sang putri.
Sakura menatap ibunya dengan kernyitan dalam menghiasi dahinya. "Kenapa sih, ibu selalu menyebut Sasuke 'pemuda tampan'? Menurutku dia biasa saja..."
"Lho, dia kan memang tampan. Ibu menyukainya..." kata Azami sambil mengedipkan sebelah matanya dengan jenaka.
"Ayah, lihat tuh! Ibu mulai main mata dengan daun muda!" Sakura buru-buru mengadu pada ayahnya yang tertawa-tawa. Tentu saja Sakura tahu kalau ibunya tidak sungguh-sungguh, tapi Sakura selalu tidak tahan tidak menanggapi gurauan ibunya. Rasanya menyenangkan setiap kali ia bersenda gurau dengan keluarganya seperti ini, meski rasanya masih ada yang kurang.
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amis Pour Toujours
Teen FictionBefore the graduation. Konyol memang, jika Sakura mengingatnya kembali sekarang. Tapi ia tak akan pernah menyesalinya. Hari ketika Naruto memutuskan untuk melayangkan tinjunya pada Sasuke di koridor sekolah adalah hari bersejarah dalam hidupnya. Ha...