Siang harinya hujan berangin kembali mengguyur Konoha. Latihan sepak bola yang biasanya dilaksanakan di lapangan luar terpaksa dipindah ke gedung olahraga di bagian belakang sekolah. Beruntung klub basket sedang tidak latihan siang itu, jadi mereka bisa memakai lapangan in-door yang cukup luas itu dengan leluasa.
Sasuke dan Sakura menempatkan diri di tribun sementara Naruto berkumpul dengan teman-teman klubnya di tengah lapangan. Naruto mengerling ke arah mereka sejenak sebelum perhatiannya teralih ke arah pelatih sekaligus guru olahraga mereka, Gai Maito.
"Oke, boys!" pria berambut bob itu memulai. Ia menepukkan kedua tangannya yang besar sementara matanya menatap anak didiknya yang tampak tegang satu per satu. "Mana semangatnya?! Ayo, tunjukkan semangat masa muda kalian! Jangan biarkan hujan badai merontokkan semangat kalian!" serunya memberi semangat pada mereka.
"Yeah!" sahut Lee penuh semangat ditimpali sorakan setengah hati dari yang lain.
"Oke, tidak apa-apa. Mungkin kalian perlu pemanasan dulu," kata Gai tak kehilangan semangat. "Tapi sebelumnya aku ingin mengingatkan sekali lagi, pertandingan sudah semakin dekat dan kita masih perlu satu pemain inti lagi. Jadi bersiaplah untuk 'audisi' terakhir ini. Setelah itu besok tim inti yang terpilih akan mendapat kesempatan latihan di Stadion Konoha di pusat kota!"
Terdengar tepukan dan sorakan antusias dari anak-anak yang sudah terpilih menjadi tim inti, sementara yang lain yang belum terpilih, termasuk Naruto, tampak tegang tapi bersemangat. Naruto memainkan bolanya untuk menutupi ketegangannya.
"Baiklah," kata Gai setelah sorakan mereda, "Sekarang, kalian lari keliling lapangan ini dua puluh kali untuk pemanasan!"
Anak-anak, kecuali Lee, langsung mengeluh panjang. Gai memang gila-gilaan kalau melatih mereka. Meski begitu, nyatanya metode latihannya yang keras memang terbukti berhasil membentuk tim sepak bola sekolah mereka menjadi salah satu yang terkuat di Konoha.
Naruto menendang minggir bolanya, lalu menyusul yang lain yang sudah melesat terlebih dahulu, berlari mengitari lapangan yang cukup luas itu.
"Membosankan," gerutu Sasuke sambil mengangkat kakinya bersandar pada punggung bangku di depannya.
"Yeah," untuk kali ini Sakura setuju dengannya. Ia melipat lututnya dan bertopang dagu, mengawasi Naruto dan yang lain melakukan pemanasan sementara Sasuke sudah mengeluarkan buku bersampul putih yang tadi pagi dan mulai menenggelamkan diri di baliknya.
Sesekali, Sakura melirik ke arah cowok di sampingnya dan ucapan pamannya tempo hari terngiang lagi di telinganya,
"Dengar. Aku tahu ini berat untukmu, tapi aku benar-benar tidak bisa menolak permintaan temanku untuk... yah-menangani adiknya. Dan Sasuke memang bermasalah dari yang kulihat. Aku harap dengan cara ini sedikit banyak dia bisa berubah, bisa belajar dari kalian. Aku tahu Naruto dan aku yakin dia bisa membantu Sasuke. Kuharap kau mau melakukan hal yang sama untuk Sasuke, Sakura. Karena Naruto tidak mungkin melakukannya sendirian dengan tempramennya yang gampang panas itu."
Sasuke jelas punya masalah, pikir Sakura. Dia kasar, tidak bisa menghargai orang, terlalu memandang dirinya sendiri tinggi dan yang paling terlihat... ia sangat pencemburu. Sakura menghela napas dan berpikir, barangkali yang dikatakan pamannya benar. Barangkali saja ia dan Naruto bisa membantunya-entah dengan cara apa.
Seraya berpikir apa yang sebaiknya dilakukannya sebagai langkah pertama, ia memandang ke bawah, ke tempat Naruto dan kawan-kawan sedang melakukan pemanasan. Ah, mungkin dengan membuat mereka berdua akur terlebih dahulu bisa membuat segalanya lebih mudah! Lagipula ia memang sudah bosan mendengar pertengkaran mereka. Tapi... bagaimana caranya?
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amis Pour Toujours
Teen FictionBefore the graduation. Konyol memang, jika Sakura mengingatnya kembali sekarang. Tapi ia tak akan pernah menyesalinya. Hari ketika Naruto memutuskan untuk melayangkan tinjunya pada Sasuke di koridor sekolah adalah hari bersejarah dalam hidupnya. Ha...