Sayangnya, keriangan Sakura setelah mengobrol dengan Naruto tidak berlangsung lama. Ketika ia memasuki kelasnya yang berikutnya, sambutan Sasuke dan Sai yang dingin kembali membuat suasana hatinya kembali memburuk. Memangnya apa salahnya sampai-sampai cowok-cowok itu mengacuhkannya sedemikian rupa? pikir Sakura jengkel. Alhasil gadis itu melewatkan sisa jam pelajarannya dengan menekuk wajahnya, memelototi buku-bukunya seakan benda-benda tak bersalah itu memiliki dendam pribadi dengannya.
Sakura sama sekali tidak menyangka hari ulangtahunnya di sekolah sama sekali tidak semenyenangkan yang ia kira –bahkan mungkin yang paling buruk yang pernah dialaminya. Kemana perginya Ino yang tahun lalu paling antusias? Kemana Hokuto yang tahun lalu menuliskan memo pesan ucapan selamat ulangtahun besar-besar untuknya di ruangan klub teater? Kemana Chouji dan Shikamaru yang dulu memberinya sebungkus keripik kentang sebagai ucapan selamat?—memang sih, mereka melakukan itu setelah dipaksa Ino. Tapi tetap saja itu sangat manis—Mengapa sekarang mereka semuanya seakan melupakannya?
Diam-diam Sakura menyesali pergaulannya yang tidak luas sejak awal. Sifatnya yang pemilih itu membuatnya nyaris tak dikenali kalau saja ia tidak memiliki rambut berwarna mencolok, atau prestasinya yang luar biasa dalam bidang akademis. Sejak taman kanak-kanak teman dekatnya praktis hanya Ino Yamanaka seorang, sampai saat mereka memasuki jenjang sekolah menengah dan Sakura nekat bergabung di klub teater karena kecintaannya pada seni peran –dan tentu saja sampai Kakashi menyatukannya dengan Naruto dan Sasuke.
Dan sekarang ia menerima dampaknya. Tak ada yang peduli dengan hari ulangtahunnya. Selamat, Sakura.
Yah, sebetulnya Sakura juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan teman-temannya, mengingat bagaimana kesibukan mereka yang luar biasa di semester genap ini. Mereka jadi kehilangan waktu yang biasa mereka lewatkan bersama dan lebih sibuk mengurusi urusan masing-masing.
Tiba-tiba saja Sakura merindukan saat-saat di mana ia terikat dengan Naruto dan Sasuke. Saat itu ia tidak pernah merasa kesepian. Sangat menyenangkan, walaupun mereka lebih banyak menghabiskan waktu dengan adu mulut, saling memaki dan membelalak satu sama lain, tapi saat itu benar-benar berkesan –tak terlupakan.
Tapi mengingat-ingat kembali masa itu sekarang tidak ada akan mengubah apa pun.
Naruto bersama timnya tetap sibuk latihan sepakbola di lapangan. Sai tetap berkutat mengurusi persiapan peluncuran program baru televisi sekolah dengan klubnya. Begitu pula dengan Ino dan Sasuke. Sementara ia hanya duduk bengong di ruang sekretariat klub teater, memandangi monitor yang memutar video pertunjukan festival sekolah yang lalu dengan tatapan kosong. Sendirian.
Sangat menyenangkan. Bukan begitu?
Sakura menghela napas untuk kesekian kalinya, menyisiri bagian depan rambutnya yang terjatuh menutupi keningnya yang lebar, membuatnya mencuat kemana-mana. Tapi tampaknya gadis itu tidak begitu peduli. Padangannya kini terarah pada jam dinding di seberang ruangan. Rupanya belum satu jam berlalu sejak ia mengurung diri di sana. Padahal rasanya sudah berjam-jam. Haah… yang benar saja!
Ia berharap waktu berjalan lebih cepat –tepatnya, ia berharap waktu bisa membunuh sakit hatinya pada teman-temannya, sehingga ia bisa pulang tanpa khawatir ditanyai soal tampang kusutnya, dan bisa memikirkan rencana aksi balas dendamnya dengan tenang.
Oke. Yang terakhir itu hanya bergurau.
Tapi rasanya menghabiskan waktu di ruangan itu sendirian pun tak ada gunanya. Malah membuatnya semakin memikirkan hari ulangtahunnya yang menyebalkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amis Pour Toujours
Teen FictionBefore the graduation. Konyol memang, jika Sakura mengingatnya kembali sekarang. Tapi ia tak akan pernah menyesalinya. Hari ketika Naruto memutuskan untuk melayangkan tinjunya pada Sasuke di koridor sekolah adalah hari bersejarah dalam hidupnya. Ha...