Mereka sedang setengah jalan menikmati hidangan pisang cokelat beku dan lemonade hangat sambil menonton acara kartun televisi di aula ketika Sai tiba di sana. Awalnya Sai merasa agak canggung karena ini pertama kali baginya benar-benar bebaur dengan bocah-bocah kecil itu. Memang sebelumnya ia pernah ke tempat itu, hanya saja tidak benar-benar bergabung dengan mereka, hanya melihat dari jauh. Tapi seperti biasa, Naruto selalu bisa membuatnya merasa diterima. Juga sambutan hangat Hinata yang sepertinya memang selalu senang bertemu dengan siapa saja.
"Terimakasih, Hinata," ucap Sai ketika Hinata mengulurkan setusuk pisang cokelat beku berlumur kacang dan lemonade hangat dalam cangkir mungil bermotif boneka.
"J-Jangan sungkan. Masih banyak di d-dapur kalau kau mau lagi," kata Hinata sebelum ia berbalik untuk bergabung lagi bersama anak-anak.
Dari bangku mungil tempat mereka duduk agak jauh dari anak-anak, Sai bisa melihat seorang anak laki-laki kecil merangkak naik ke pangkuan Hinata begitu ia duduk di barisan paling belakang anak-anak di depan televisi.
"Jadi…" suara Naruto yang duduk di sebelahnya mengalihkan perhatian Sai dari anak-anak yang sedang tergelak menyaksikan kartun. Naruto mengambil waktu untuk menelan potongan pisangnya sebelum melanjutkan, "Kau sudah mau memberitahuku masalahmu?"
Tidak paham apa yang sedang dikatakan kawannya itu, Sai melempar pandang bertanya padanya.
"Itu kan alasanmu menemuiku sekarang? Untuk membicarakan yang kemarin itu?"
Sai tidak langsung menjawab, melainkan menggigit pisang bekunya, mengunyahnya perlahan-lahan. Kemudian menjawab dengan nada biasa, "Tidak juga. Aku menemuimu karena memang ingin menemuimu." Sai mengangkat bahunya dan tersenyum. "Tidak ada hal yang khusus."
Naruto menatapnya selama beberapa waktu sebelum berpaling. Kekecewaan samar tersirat dalam suaranya ketika ia berkata pelan, "Begitu…" Sepertinya Sai belum sepenuhnya mempercayainya, pikirnya. Ia menghela napas panjang sebelum memasukkan potongan terakhir pisangnya ke dalam mulut. "Kupikir ada yang ingin kau bicarakan denganku, Sai," ujarnya selang beberapa saat sambil kembali memandang sahabatnya. "Bukannya apa-apa, tapi akhir-akhir ini kau jadi sangat pendiam. Kami pikir pastilah terjadi sesuatu denganmu. Aku dan Sakura mengkhawatirkanmu."
Sai menunduk, merasa tidak enak. "Aku tahu. Maafkan aku," sahutnya muram.
Mereka terdiam cukup lama. Naruto tidak berkata apa-apa lagi. Ia menyilangkan kaki dan menyandarkan punggung ke sandaran kursi yang mungil itu sambil mengawasi adik-adiknya. Sesekali melirik Sai yang sedang menghabiskan pisangnya, masih menunggu kalau-kalau kawan baiknya itu hendak mengatakan sesuatu. Tapi tak ada satu kata pun meluncur dari bibir Sai, meskipun sebenarnya hatinya tercabik ingin menceritakan perasaan tersiksa yang melandanya pada Naruto. Tapi ia terlalu cemas Naruto akan menganggapnya aneh, sinting.
Sampai akhirnya ia merasa tidak tahan lagi. Dianggap tidak normal urusan belakangan.
Ia meletakkan cangkir dan tusukan pisangannya ke bangku kosong di sampingnya dan berdeham. "Um… Naruto?"
"Apa?" Naruto mengalihkan pandangan dari adik-adiknya dan memandang Sai.
Sai menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan sebelum menuturkan semuanya pada sahabatnya itu. Semua perasaan yang mengganggunya belakangan ini, mulai dari debaran-debaran aneh yang membuatnya resah bukan kepalang, pikirannya yang mendadak tidak bisa fokus, sampai kemarahan yang tak bisa dijelaskan yang mendadak muncul. Semuanya… Dan Naruto mendengarkannya tanpa menginterupsi.
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amis Pour Toujours
Fiksi RemajaBefore the graduation. Konyol memang, jika Sakura mengingatnya kembali sekarang. Tapi ia tak akan pernah menyesalinya. Hari ketika Naruto memutuskan untuk melayangkan tinjunya pada Sasuke di koridor sekolah adalah hari bersejarah dalam hidupnya. Ha...