Oke, sekarang keadaannya benar-benar kacau. Setidaknya itulah yang dirasakan Sasuke saat ini. Belum selesai masalahnya dengan Sai, sekarang Sakura ikut-ikutan marah besar padanya. Seakan belum cukup, ia juga harus menerima pukulan telak Naruto di pipinya.
Yah, ia tidak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka. Kalau bisa dibilang, di sini ialah yang bersalah.
Dan Sasuke benar-benar menyesal. Bukan hanya karena tindakan sembrononya yang tanpa pikir panjang dan pertimbangan yang matang langsung mengintervensi hubungan Sakura dan Neji, juga karena gara-gara ialah gadis itu menangis.
Sial –Sasuke belum pernah melihat Sakura semarah itu sebelumnya. Bahkan ketika dulu mereka masih dalam masa hukuman bertiga dengan Naruto. Ia masih ingat cara gadis itu menangis, marah-marah dan berteriak padanya di sekolah tadi siang. Mungkin, kalau tidak ada Ino dan Naruto yang mencegahnya, Sakura bisa saja mencakarinya sampai habis. Dan ia juga tidak tahan terhadap tatapan penuh kecewa yang diterimanya dari Naruto.
Sial! Sial! Sial!
Oh—Ini semua gara-gara Neji.
Ingin sekali rasanya Sasuke bisa berkata seperti itu. Namun setelah ia memikirkannya kembali –setelah ia lebih tenang, tentu saja—hell! Bahkan cowok itu bisa dikatakan tidak tahu apa-apa. Dan belum tentu apa yang didengarnya dari cewek-cewek tukang gosip—yah, Sasuke melupakan fakta yang satu ini, bahwa cewek-cewek kelas tiga itu suka bicara seenaknya—itu benar. Bisa saja mereka berkata seperti itu hanya karena tidak suka ada gadis lain yang dekat dengan cowok yang mereka taksir. Terlebih salah satu gadis itu adalah Yakumo, mantan kekasih Neji.
Tapi… percakapan mereka benar-benar mengganggunya.
"Neji tidak benar-benar menyukai Haruno, aku tahu. Gadis bodoh itu jelas mengiranya begitu."
"Tapi Neji kelihatan menyukainya juga…"
"Kalau begitu kau juga tertipu. Aku sudah mengenalnya lama. Dia memang baik –tapi idiot. Sikapnya itu bisa membuat siapa pun salah paham."
"Ah—Geez, Yakumo, kalau yang kau bilang itu benar, mantanmu itu benar-benar aktor hebat. Dia berbakat jadi playboy—"
Kalau Neji benar-benar berniat mempermainkan Sakura-nya, Sasuke bersumpah akan mematahkan leher cowok kurang ajar itu –dan ia rela melakukan apa pun untuk mencegahnya membuat Sakura menangis. Itulah yang ada dipikirannya saat mendengarnya. Namun kini ia menyesalinya.
Sakura telah menangis, bukan karena Neji, tapi karena ia, Sasuke.
Sasuke sedikit mengernyit ketika dirasakan memar di bawah matanya akibat pukulan Naruto berdenyut menyakitkan. Tangannya meraba-raba bagian itu –sepertinya bengkak. Naruto sial, umpatnya dalam hati. Padahal tidak perlu sampai memukul seperti itu. Sakit sekali…
"Haah.. tidak bisa dipercaya," kata suara Itachi yang baru saja kembali dari dapur, "…baru saja memenangkan pemilihan ketua OSIS, kau sudah berkelahi seperti ini."
Sasuke yang saat itu sedang duduk di sofa depan televisi otomatis menoleh saat sang kakak duduk di sebelahnya, meletakkan dua mangkuk di atas meja. Satu mangkuk berisi es dan satunya lagi berisi cairan merah mencurigakan yang mengepulkan uap panas.
"Aku tidak berkelahi," ia menggerutu, mengawasi saat Itachi mengambil es yang sudah dibalut sapu tangan dan menempelkannya di memarnya dengan beringas. "Ouch! Bisa pelan sedikit tidak, sih!"
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amis Pour Toujours
Teen FictionBefore the graduation. Konyol memang, jika Sakura mengingatnya kembali sekarang. Tapi ia tak akan pernah menyesalinya. Hari ketika Naruto memutuskan untuk melayangkan tinjunya pada Sasuke di koridor sekolah adalah hari bersejarah dalam hidupnya. Ha...