Sakura menghela napas keras-keras seraya menjatuhkan dagunya di atas kedua lengannya yang terlipat di atas meja bar di Blossoms' Café sore itu. Seperti biasa, sepulang sekolah gadis itu selalu menyempatkan diri datang ke restoran yang dikelola keluarganya tersebut, entah itu untuk bantu-bantu, atau hanya duduk menunggu ibunya sampai restoran tutup sambil mengerjakan PR. Namun alasannya kali ini sedikit berbeda dari biasanya. Bukan untuk ikut bantu-bantu atau pun menunggui ibunya, karena ia sudah janjian untuk belajar bersama di rumah bersama Ino setengah jam lagi.
Dengan sedikit malas-malasan, gadis itu kembali mengangkat kepalanya dan menoleh ke belakang—ke deretan meja-meja pengunjung. Pandangannya terjatuh pada salah satu bangku di dekat jendela, tempat di mana empat orang itu sedang duduk: seorang wanita paruh baya berambut merah—ibunya—bersama tiga orang remaja laki-laki. Dua berambut hitam dan satu yang terlihat paling serius berbicara, memiliki rambut yang mengingatkan pada bentuk dan warna matahari yang sering digambar oleh anak TK. Siapa lagi kalau bukan ketiga suami—ehm, maksudnya, sahabatnya. Sasuke, Sai dan Naruto.
Ketiganya sengaja datang untuk mengajukan lamaran. Tentu saja yang dimaksud bukan lamaran terhadapa putri tunggal sang pemilik restoran—bisa-bisa mereka langsung ditendang keluar saat itu juga—melainkan melamar sebagai pekerja paruh waktu di sana.
Bukannya tanpa alasan. Sejak Sakura mengajukan usulan tentang liburan ke Kiri beberapa hari yang lalu pada ketiga sahabatnya, Naruto menjadi sangat antusias—Sai hanya berkata, "Kedengarannya menyenangkan," sementara Sasuke mengerutkan kening dan berkata tidak yakin, "Kau yakin ibumu akan mengizinkan?"—Masalahnya, cowok pemilik bola mata biru cerah itu juga mencemaskan biaya yang harus mereka keluarkan nanti. Ditambah lagi, cowok itu juga bukan tipe yang suka menengadahkan tangan pada ayahnya. Maka di sanalah mereka sekarang, mencari pekerjaan paruh waktu yang hasilnya akan ditabung sedikit demi sedikit untuk liburan.
Sebenarnya Sasuke dan Sai tidak perlu—jelas sekali, mengingat keduanya bisa dibilang berasal dari keluarga kaya raya banget—tapi toh mereka tetap berada di sana. Sai beralasan ini adalah salah satu proyeknya untuk artikel jurnal sekolah. Pengalaman manis pahit bekerja sebagai pelayan restoran, bertemu berbagai macam orang dengan berbagai kelakuan, sepertinya menarik untuk dibahas di kolom profesi. Sementara Sasuke berkata ia juga perlu uang saku tambahan, karena uang bulanan dari orangtuanya di Oto masih kurang—bohong banget—dan ia butuh dana tambahan untuk kegiatan OSIS.
Yah, akan tetapi mereka mau mengarang alasan bagaimanapun juga, Sakura sudah tahu alasannya sama sekali bukan itu. Kedua cowok itu hanya enggan mengakui terang-terangan bahwa itu adalah bentuk solidaritas mereka untuk Naruto. Dasar cowok-cowok jaim!—Namun herannya, Naruto dengan lugunya menerima begitu saja alasan mereka. Malah, dengan gembiranya berseru, "Wah, kebetulan sekali!"
Namun itu bukan berarti masalah sudah terselesaikan.
"Mereka serius mau kerja sambilan di sini?"
Sakura berpaling ketika Ayame meletakkan gelas kaca berisi limun dingin di atas meja konter di depannya. Ditariknya gelas itu ke depannya dan menyeruput isinya dengan sedotan, lalu bergumam sambil mengangguk malas-malasan, "Hmm…"
"Tidak bekerja cuma-cuma lagi seperti waktu itu?" Ayame memandang penasaran pada ketiga cowok itu dari atas bahu Sakura, sembari mengelap cangkir kosong tanpa benar-benar memperhatikan.
"Yang benar saja. Mereka kan tidak bisa selamanya bekerja gratisan," sahut Sakura datar, menyeruput lagi minumannya, lalu mendesah pelan, "Lagipula, kan tidak enak kalau mereka melakukannya terus-terusan—memangnya aku teman macam apa?—Ibu juga pasti merasa begitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amis Pour Toujours
Teen FictionBefore the graduation. Konyol memang, jika Sakura mengingatnya kembali sekarang. Tapi ia tak akan pernah menyesalinya. Hari ketika Naruto memutuskan untuk melayangkan tinjunya pada Sasuke di koridor sekolah adalah hari bersejarah dalam hidupnya. Ha...