OoCness, Crackness, Gajeness alert!
Oto city...
Sasuke menutup pintu ganda berpelitur di belakangnya perlahan. Ujung-ujung bibirnya tertarik ke atas membentuk senyum-atau seringai?-tipis. Wajahnya yang pucat tampak berseri-seri. Jelas sekali suasana hatinya sedang sangat bagus. Luar biasa bagus. Sejenak ia menatap plat bertuliskan 'Kepala Sekolah' dengan huruf-huruf emas yang terpampang di depan pintu sebelum berbalik.
Apa yang lebih baik dari ini? Pikirnya riang seraya menyusuri koridor meninggalkan ruang kepala sekolah dengan langkah ringan.
Semuanya berjalan lebih mudah dari yang diperkirakannya. Sebelumnya, Sasuke mengira akan sangat sulit saat mengutarakan keinginannya pada kedua orangtuanya-terutama Mikoto, ibunya. Tetapi nyatanya tidak begitu. Betapa terkejutnya saat melihat kedua orangtuanya justru menyetujui pilihannya untuk pindah ke Konoha, bahkan mendukungnya seratus persen.
"Kalau kau memang sudah memutuskan seperti itu, Sasuke, Ayah akan dukung," begitu kata Fugaku beberapa malam yang lalu. Nadanya begitu santai, sama sekali tak terdengar nada keberatan dalam suaranya yang berat. Begitu pula dengan ibunya. Sepertinya mereka pada akhirnya mulai mengerti bahwa putra bungsu mereka sudah beranjak dewasa dan bisa mengambil keputusan sendiri.
Fugaku langsung menghubungi Itachi di Konoha dan memberitahukan keinginan Sasuke saat itu juga. Itachi-yang sering mengeluh kesepian di rumah sejak Sasuke tidak tinggal bersamanya lagi-tentu saja sangat senang dan langsung mengurusi segalanya termasuk sekolah Sasuke di Konoha.
Dengan jaminan nama besar keluarga mereka, sekolah Sasuke di Oto pun dengan cepat mengurusi kepindahannya. Meski begitu, Sasuke terpaksa bolak-balik ke kantor kepala sekolahnya, Profesor Orochimaru, yang tampaknya sangat enggan melepaskan salah satu siswanya yang cemerlang itu untuk sekolah lain. Pria paruh baya sangar itu berusaha keras membujuk Sasuke agar berubah pikiran dan tetap tinggal, tapi tentu saja itu tidak berhasil. Sampai akhirnya sore ini beliau memberitahukan persetujuannya dengan berat hati.
Akhirnya...
"Sasuke!" jeritan yang berasal dari seorang gadis yang baru saja muncul dari pintu samping mengalihkan perhatian Sasuke. Gadis berambut merah itu berlari-lari menghampirinya, wajahnya gusar bukan kepalang. "Apa benar yang dikatakan anak-anak kalau kau bakal pindah minggu ini, Sasuke?"
"Ya," sahut Sasuke datar, melanjutkan perjalannya menuju lokernya. Tayuya merendenginya.
"Tapi kau baru saja kembali! Bahkan belum ada satu semester!" ujar gadis itu gusar.
"Aku tahu," Sasuke menggerutu. Sama sekali tidak mengindahkan ekspresi kesal gadis yang sempat sempat 'jadian' dengannya gara-gara kalah taruhan beberapa minggu saat ia masih kelas satu.
"Kenapa?" Tayuya menuntut. Alisnya bertaut dan ia menatap Sasuke curiga. "Karena gadis itu, kan? Hyuuga. Iya, kan?!"
Sasuke memutar matanya, sama sekali tidak menjawab. Langkah mereka bergema di koridor yang lengang. Saat itu jam pelajaran memang sudah usai dan hampir semua anak sedang berada di luar untuk mengikuti kegiatan ekstrakulikuler-Tayuya sendiri masih mengenakan seragam klub pemandu sorak yang ditutupi jaket olahraga, dan ia masih membawa pom-pom.
"Sasuke, jawab aku!" Tayuya menarik lengan kaus Sasuke, memaksanya berhenti tepat ketika mereka sudah sampai di depan ruang ganti siswa.
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amis Pour Toujours
Novela JuvenilBefore the graduation. Konyol memang, jika Sakura mengingatnya kembali sekarang. Tapi ia tak akan pernah menyesalinya. Hari ketika Naruto memutuskan untuk melayangkan tinjunya pada Sasuke di koridor sekolah adalah hari bersejarah dalam hidupnya. Ha...