Sakura menghela napas berat entah sudah keberapa kalinya pagi itu. Suasana hatinya sangat kacau semenjak semalam, semenjak ia melihat pemandangan yang tidak ingin ia lihat. Bayangan tentang ibunya dan Kakashi bersama-sama terus-menerus berkelebat dalam kepalanya, membuatnya tak bisa tidur. Ia sama sekali tidak percaya pamannya tega melakukan ini padanya.
'Tapi Kakashi bukan pamanku—ia bukan paman kandungku,' Sakura mengingatkan dirinya sendiri dalam hati.
Dan kenyataan itu seperti pukulan telak baginya—membuatnya semakin takut. Kenyataan bahwa sebenarnya Kakashi sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengannya maupun ibunya. Kakashi menjadi bagian dari keluarganya karena ia menikahi adik kandung ibunya—bibi Ayashi. Dan ia menjadi semakin dekat dengan mereka setelah Ayashi meninggal beberapa tahun silam saat melahirkan anak pertama mereka.
'Terutama dengan ibu,' pikir Sakura getir.
Mengapa ia tidak pernah menyadarinya sebelum ini?
Semenjak ayahnya meninggal beberapa bulan lalu hubungan ibunya dan Kakashi kian dekat. Sakura tahu Kakashi sering menemui ibunya di rumah maupun di restoran. Selama ini ia hanya mengira Kakashi datang dengan perannya sebagai seorang adik yang menghibur kakaknya yang sedang berduka. Gadis itu sama sekali tidak pernah berpikir bahwa cinta bisa saja tumbuh di sana. Di antara ibunya dan Kakashi.
Memikirkan ibunya dan Kakashi bersama-sama membuatnya tidak tahan. Ia tidak bisa menerima itu. Tidak mau menerima, lebih tepatnya. Baginya itu sama saja dengan pengkhianatan atas kenangan mendiang ayah yang sangat dikasihinya.
'Ya. Pengkhianatan… Ibu sudah mengkhianati ayah. Kakashi juga. Mereka berdua.'
Dan segalanya semakin diperburuk dengan pertengkarannya dengan Sang ibu tadi pagi saat sarapan. Sungguh, Sakura tidak pernah bertengkar sehebat itu dengan ibunya selama ini. Ini membuatnya sedikit terguncang.
"Ibu kemana saja semalam?" Sakura tidak bisa menahan nada dingin dalam suaranya saat itu.
Azami yang sedang menuang kopi paginya ke dalam cangkir tidak langsung menjawab. Sakura memperhatikan gerakan ibunya terhenti sejenak dan matanya yang memandang ke arah lain dengan sikap gugup sebelum mengangkat wajahnya, tersenyum, "Ibu keluar cari angin. Belakangan ini Ibu merasa agak kurang enak badan."
"Kalau tidak enak badan, kenapa malah keluar dan bukannya istirahat saja di rumah?" Sakura menukas seraya menatap ibunya dengan mata disipitkan. "Atau barangkali menurut Ibu menghabiskan malam di luar—di udara yang dingin—bisa membuat 'tidak enak badan' Ibu menjadi lebih baik? Maksudku, dengan mencari kehangatan yang tidak Ibu dapatkan di rumah. Iya, kan?"
Azami tampak terkejut dengan kata-kata Sakura. "Apa maksudmu berkata begitu, Nak?"
"Aku yakin Ibu cukup paham kata-kataku," Sakura mendengus sinis. "Jadi kapan Ibu mau memperkenalkan calon ayahku, eh?"
Senyap. Azami seakan kehilangan kata-katanya saat itu sementara Sakura menatapnya dengan sorot mata terluka yang tidak berusaha ditutup-tutupi. Janda Hiroyuki itu menatap sang putri selama beberapa saat lagi sebelum akhirnya berkata pelan, "Kau pasti salah paham, Saya—"
"Oh, ya, tentu saja aku salah paham!" Gadis itu mengeluarkan tawa dingin. "Kurasa yang kusaksikan semalam sudah cukup, Bu. Dan setelah semua yang sudah terjadi semenjak ayah meninggal, semuanya menjadi masuk akal! Kau… dan Kakashi!"
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amis Pour Toujours
Teen FictionBefore the graduation. Konyol memang, jika Sakura mengingatnya kembali sekarang. Tapi ia tak akan pernah menyesalinya. Hari ketika Naruto memutuskan untuk melayangkan tinjunya pada Sasuke di koridor sekolah adalah hari bersejarah dalam hidupnya. Ha...