Matahari belum terbit sepenuhnya ketika Sai melangkah keluar dari kamarnya pagi itu. Tidak biasanya ia bangun sepagi itu di akhir pekan-atau saat liburan seperti ini. Paling tidak ia akan bangun saat matahari sudah mulai naik. Tapi sekarang, ia bahkan mendahului para pelayannya yang biasanya bangun paling pagi di rumah itu.
Yah, tidak terlalu mengherankan mengingat semalam ia tidur lebih awal saking lelahnya setelah menemani kakeknya ke acara pengumpulan dana Konoha Art Academy hampir seharian. Padahal ia tidak harus wara-wiri seperti beberapa siswa KAA yang menjadi panitia atau pengisi acara, melainkan hanya berdiri saja mengekor sang kakek dan diperkenalkan pada orang-orang penting di sana. Barangkali ia sudah mati bosan kalau saja tidak ada Gaara yang datang sebagai pengisi acara dan Hinata yang keluarganya ternyata pemberi sumbangan tetap di sekolah itu. Setidaknya ia jadi ada teman bicara.
"S-selamat pagi, Tuan Muda..." sapa seorang gadis pelayan gugup sambil membungkuk sopan saat Sai masuk ke dapur rumahnya yang luas. Gadis itu belum mengenakan seragam pelayannya dan tampak terkejut melihat sang tuan muda tiba-tiba muncul di dapur sepagi itu. Wajahnya merona merah.
"Aa.. Paa-pagi..." kuap Sai, meregangkan sedikit lengannya yang masih kaku. Ia berjalan melewati pelayannya menuju rak untuk mengambil mug. "Ada kopi?"
"I-Iya," gadis pelayan itu dengan kikuk buru-buru melesat untuk mengambil teko kaca yang telah diisinya sebelumnya dengan kopi dari mesin pembuat ekspreso.
"Terimakasih," ucap Sai. Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, cowok itu berlalu meninggalkan dapur dengan mug berisi kopi yang mengepul di tangannya, sesekali menguap. Sama sekali tidak menyadari tatapan penuh damba dari sang pelayan yang terus mengikutinya sampai punggungnya menghilang di ujung koridor.
Awalnya ia hendak kembali ke kamarnya, tapi mengurungkan niatnya saat teringat sesuatu. Seulas senyum muncul di wajahnya yang pucat saat ia berbalik menuju studio lukis. Ruangan itu masih gelap ketika ia tiba di sana. Jendela tinggi yang biasanya menjadi sumber pencahayaan di siang hari masih tertutup tirai.
Sai meletakan mug kopinya di atas meja sebelum membuka tirai-tirai itu. Pemandangan taman yang tertutup salju yang berkilauan tertimpa semburat kemerahan matahari yang baru saja terbit langsung menyapa penglihatannya begitu tirai itu tersingkap. Indah sekali. Sejenak Sai hanya berdiri di sana, menikmati cahaya pertama matahari yang mengawali hari itu. Kemudian ia berpaling, tersenyum lembut pada salah satu kanvas yang telah terisi goresan tangannya. Masih berupa sketsa kasar, namun ia sudah bisa membayangkan apa yang akan terlukis di sana; seraut wajah cantik seorang gadis yang belakangan ini selalu memenuhi pikirannya.
"Selamat pagi, Nona Cantik..." bisiknya lembut.
Sekelumit perasaan bersalah muncul di hatinya ketika ia teringat peringatan yang diberikan sahabat-sahabatnya. Naruto pernah bilang padanya untuk melupakannya saja. Sakura juga pernah mengatakan hal yang sama padanya, bahwa ia tidak boleh banyak berharap. Karena Ino sudah menjadi milik orang lain. Oh, ia memahami betul kalau perkataan teman-temannya benar dan mereka bilang begitu supaya ia tidak terluka.
Namun sepertinya perasaannya sudah terlanjur mendalam terhadap gadis itu, dan seperti yang dikatakan Naruto padanya, akan lebih sulit untuk melupakannya. Dan sekarang ia sudah tidak bisa menahan dirinya lagi lebih lama. Ia tidak sanggup terus-terusan melawannya dan sekarang ia memutuskan untuk mengikuti kata hatinya saja. Lagipula, memendam perasaan dalam hati bukan sesuatu yang salah, bukan? Ia juga ingin merasakan perasaan menyenangkan seperti yang dirasakan kakaknya terhadap 'Sang Bidadari'.
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amis Pour Toujours
Teen FictionBefore the graduation. Konyol memang, jika Sakura mengingatnya kembali sekarang. Tapi ia tak akan pernah menyesalinya. Hari ketika Naruto memutuskan untuk melayangkan tinjunya pada Sasuke di koridor sekolah adalah hari bersejarah dalam hidupnya. Ha...