Chapter 31 : Maaf

133 25 0
                                    

Tempat di mana Sai menjalani terapi kelompok adalah sebuah gedung tua bekas sekolah yang jaraknya hanya beberapa blok saja dari kediaman keluarga Yakushi. Tepat di tengah-tengah deretan apartemen asri di pinggiran Utara kota Konoha dengan lingkungan yang begitu ramah, di mana orang-orang berlalu-lalang di sepanjang trotoar yang lebar, saling sapa, mengobrol, menikmati cahaya matahari yang mengintip di sela-sela dedaunan yang berwarna kecokelatan di kanan kiri jalan. Tidak seperti rumah besar di Root Hills yang bernuansa dingin dan tidak ramah. Wilayah tenang yang benar-benar kondusif untuk terapi semacam itu. Setidaknya itulah yang dirasakan oleh para peserta terapi, tidak terkecuali Sai.

Setiap kali selesai menjalani sesi terapi bersama orang-orang yang memiliki masalah serupa dengannya, Sai selalu merasa selangkah lebih baik. Terlebih setelah itu biasanya mereka mengadakan semacam acara ramah tamah seperti makan siang bersama atau hanya sekedar berkumpul di coffe shop untuk menikmati secangkir kopi hangat sambil mengobrol. Sai senang mengamati bagaimana orang-orang di sekitarnya itu saling berbicara dan berkomunikasi satu sama lain, termasuk mimik wajah dan intonasi saat berbicara. Sedikit banyak itu membantunya belajar bagaimana bersosialisasi dengan orang lain. Begitu juga dengan kali ini. Sesi terapi sudah selesai sejak satu jam yang lalu dan kini Sai bersama dengan peserta terapi lain yang kebanyakan adalah orang-orang yang lebih dewasa darinya sedang berkumpul di Akado's, restoran plus coffe shop mungil di dekat sana untuk makan siang bersama.

Sai duduk di sudut bersama seorang pria berbadan besar yang paling ribut di rombongan itu. Jirocho, nama pria itu, adalah mantan peminum berat yang tadinya senang bicara kasar dan memaki orang—tapi sekarang sudah tidak lagi. Pria itu sudah jauh lebih lama mengikuti terapi ini dan sekarang sudah seperti senior bagi yang lain. Ia gemar sekali bercanda dan tertawa sampai badannya yang besar itu berguncang-guncang. Seperti yang dilakukannya sekarang ini.

Sai hanya tersenyum simpul saja sambil menyeruput kopinya melihat pria di sebelahnya ini terbahak-bahak setelah salah satu dari mereka menceritakan kisah—yang menurut Sai—tidak lucu tentang dirinya sendiri yang ditolak cewek.

"Itulah kalau kau terlalu lama menunggu, Nak," gelegar Jirocho sambil terkekeh-kekeh. Diikuti dengan tawa yang lain.

"Dia bilang tadinya dia suka padaku. Tapi karena kelamaan, dia jadi bosan," cowok bertubuh kurus kering sang empunya cerita menghela napas sambil geleng-geleng kepala. Ia mengangkat cangkir kopinya ke bibir dan menenggaknya hingga tandas. "Cewek sialan itu mengataiku basi," tambahnya.

Jirocho terkekeh lagi, kali ini sambil mengayun-ayunkan telunjuknya pada si cowok kurus. "Ah, jangan menggunakan kata tidak sopan itu, Nak, karena tidak ada wanita yang sialan. Kalau tidak ada wanita, pria tidak ada gunanya. Benar kan, Sai?"

"Ha?" Sai terkaget sendiri ketika tiba-tiba ditanya. Dari tadi ia tidak menyimak pembicaraan mereka. Entah mengapa kali itu pikirannya terbang terus kemana-mana. Ia merasa telah melupakan sesuatu yang penting, tapi ia tidak ingat apa.

Untung saja Jirocho tidak benar-benar menginginkan jawaban dari Sai, karena saat berikutnya pria besar itu sudah berceloteh lagi. "Jadi moral yang bisa diambil kali ini adalah kalau kau jatuh cinta pada seseorang, cepat katakan sebelum semuanya terlambat! Jangan sampai seperti Tuan Akado ini," ia menunjuk pada Yoroi Akado, sang empunya restoran yang sedang mengantar sandwich tuna pesanan Sai ke meja mereka. "Lihat, karena patah hati sampai setua ini dia masih membujang."

"Ooh… jangan sebut-sebut masalah itu lagi, Tuan Jirocho! Itu karena aku belum menemukan yang cocok," kata Yoroi sambil menegakkan diri menatap pelanggan setianya itu. Meski begitu, dari ekspresinya sepertinya ia sama sekali tidak keberatan dengan apa yang akan disampaikan oleh Jirocho, seakan itu memang sudah menjadi lelucon sehari-hari.

L'amis Pour ToujoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang