Sesuatu telah terjadi kemarin.
Pikiran itu terus-menerus melintas di benak Sasuke semenjak ia menginjakkan kakinya di sekolah tadi pagi, membuatnya gusar setengah mati. Tepatnya, setelah ia mendengar gosip yang didengarnya dari para gadis ketika ia melewati mereka di koridor sebelum pelajaran dimulai. Bukannya Sasuke percaya pada gosip—ia justru benci sesuatu yang buang-buang waktu seperti itu—tapi nama Sakura Haruno yang selintas terdengar di kuping lantas membuatnya penasaran. Dan apa yang didengarnya kemudian di antara kikikan menyebalkan mereka bukanlah hal yang menyenangkan. Setidaknya tidak menyenangkan untuknya.
Neji… Si Sialan itu…
Tangan Sasuke terkepal di atas buku Kebudayaan yang terbuka di mejanya sementara mata onyx-nya menyipit memandang belakang kepala merah muda gadis yang duduk beberapa bangku di depannya. Suara guru mereka yang mengoceh penuh semangat di depan kelas sama sekali tidak ia pedulikan. Perhatiannya hanya tertuju pada si gadis yang tengah asyik menyimak dan mencatat. Wajahnya berseri-seri—bahkan hanya melihat dari belakang pun Sasuke sudah bisa membayangkan ekspresi yang terpasang di wajah gadis itu; senyumnya, matanya yang berbinar-binar dan pipi yang memerah.
Akh! Hentikan itu, bodoh!
Sasuka menggeram jengkel pada dirinya sendiri seraya membuang pandangnya. Kemana pun asal tidak melihat Sakura dan mood gadis itu yang-sepertinya-sedang-sangat-bagus. Melihatnya benar-benar membuatnya kesal. Tapi sialnya matanya justru menemukan Naruto sedang memandanginya khawatir dari meja sebelah.
"Apa?" desisnya judes.
Cowok bermata biru langit itu meringis. "Tidak. Tidak apa-apa," sahut Naruto cepat. Dan ia buru-buru kembali menatap ke depan, berpura-pura menyimak. Sesekali ia melirik gelisah ke arah sahabatnya yang kini sudah berpaling ke arah lain sehingga tidak menyadarinya.
Tak lama, bel tanda jam pelajaran berakhir berbunyi. Guru mereka meninggalkan kelas setelah memberi tugas rumah yang keterlaluan banyaknya, disusul suara anak-anak yang ribut berkeluh kesah.
"Haah… tidak berperasaan sekali, Bu Mitarashi! Kita kan mau ujian, masa masih dikasih pe-er setumpuk?!"
"Iya, iya, benar! Belum lagi tugas dari Pak Hatake!"
"Mereka seharusnya menikah saja!"
Gelak tawa, dan saat berikutnya diskusi tentang apa jadinya jika dua guru gila tugas itu menikah. Tapi Sasuke tidak tertarik. Perhatiannya kini kembali pada gadis berambut merah muda yang sedang membereskan buku-bukunya—Ia bahkan tidak memedulikan Sai yang sudah melesat duluan sedetik setelah guru mereka meninggalkan kelas.
"Sai itu, seperti bangkunya diberi api saja, cepat sekali kaburnya," komentar Naruto—yang seperti suara-suara lain di kelas yang ribut itu, tidak dipedulikan Sasuke.
Karena di depan sana, Sakura telah selesai membereskan buku-bukunya. Gadis itu berdiri, dan saat itu ia menoleh ke belakang. Mata hijaunya langsung bersirobok dengan hitam milik Sasuke dan senyum di wajahnya langsung lenyap. Sasuke menyipitkan matanya, sama sekali tidak melepas tatapannya, tidak peduli Sakura terlihat tidak nyaman dengan itu.
Dengan wajah cemberut, Sakura berpaling dan bergegas keluar dari kelas bersama anak-anak lain. Dagunya terangkat tinggi.
Setelah gadis itu lenyap di pintu, Sasuke mendengus keras. Dilemparnya pulpen yang dipegangnya dengan geram hingga terjatuh ke bawah meja. "Sial!" umpatnya. "Dia kelihatan sangat senang, kan?" Ia mendelik pada Naruto yang bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amis Pour Toujours
Teen FictionBefore the graduation. Konyol memang, jika Sakura mengingatnya kembali sekarang. Tapi ia tak akan pernah menyesalinya. Hari ketika Naruto memutuskan untuk melayangkan tinjunya pada Sasuke di koridor sekolah adalah hari bersejarah dalam hidupnya. Ha...