Badai salju terparah sepanjang tahun yang menerpa Konoha membuat kota kecil itu hampir seluruhnya tertutup salju. Suhu udara menurun drastis dan wabah flu musim dingin mendadak menyebar dan menjangkiti orang-orang yang tidak waspada. Tidak terkecuali siswa-siswa dan bahkan beberapa guru Konoha High. Bisa diperkirakan pagi itu suasana di sekolah lebih lengang dari biasanya. Bangku-bangku banyak yang kosong, bahkan ada beberapa mata pelajaran yang terpaksa dibatalkan karena guru yang mengajar tidak masuk. Sakit atau terjebak badai dan tidak bisa keluar rumah menjadi alasan.
Tapi itu sama sekali tidak memengaruhi guru Sejarah mereka untuk tetap mengajar. Meskipun terlambat hampir satu jam dan masuk kelas dengan memakai masker yang menutupi hidung dan mulutnya, pria dengan bekas luka bakar di wajah—yang seksi, menurut pendapat beberapa murid perempuannya—itu tetap melakukan tugasnya. Dan satu jam berikutnya mereka habiskan dengan mendengarkan suaranya yang sengau akibat flu.
"Dari dulu aku sudah menyangka Pak Namiashi itu pria tangguh," komentar Naruto setengah bergurau setelah kelas bubar. "Tidak pantang menyerah meskipun virus-virus influenza menghadang di depannya." Ia terkekeh sambil memasukkan bukunya ke dalam tas.
"Yeah, itu kan karena ia peduli pada pendidikan kita," kata Sakura. Gadis itu memutar tubuhnya ke belakang, ke bangku Sasuke yang kini ditempati Naruto karena yang bersangkutan sedang terkapar sakit di rumahnya. "Bilang saja kau ingin pembatalan pelajaran lagi supaya kau bisa pulang."
Naruto nyengir, seraya menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. "Habis aku cemas sekali. Adik-adikku di panti asuhan banyak yang kena wabah flu. Semalaman Pap menginap di panti untuk merawat mereka."
"Kurasa ini musim dingin terparah yang pernah kualami seumur hidup," Sakura berkata seraya menghela napasnya. "Halaman rumahku tertimbun salju sampai di atas mata kaki."
"Dan wabah flu ini juga parah. Sasuke juga sampai kena," ujar Naruto muram.
"Sepertinya itu gara-gara kalian pergi saat badai salju," Sai yang sedang setengah jalan mengancing tasnya ikut bersuara. "Sasuke sepertinya sudah demam saat itu. Wajahnya merah sepanjang waktu." Cowok itu mengangkat bahunya.
Entah apa yang membuat cengiran justru muncul di wajah Naruto saat Sai mengatakan itu, wajahnya merah sepanjang waktu. Ia tidak yakin kalau wajah Sasuke yang merah waktu itu sepenuhnya karena demam. Waktu itu ia memaksa Sasuke dan Sai melihat latihan drama klub teater—mereka berlatih di gymnasium. Selain memang ingin melihat mereka, Naruto juga ingin membuktikan teorinya—Yah, meskipun sebenarnya ia sangat berharap teorinya itu salah—bahwa ada rasa lain yang sudah muncul di hati Sasuke terhadap Sakura.
Tampang Sasuke memang datar-datar saja sepanjang mereka menonton. Tapi Naruto memperhatikan rona merah di wajah sobatnya itu semakin lama semakin menggelap setelah beberapa waktu menonton, dan ia nyaris bisa merasakan panas yang menguar dari tubuh Sasuke. Entah itu karena demam atau ada alasan lain—teorinya.
"Kalian pergi saat badai salju?" tanya Sakura dengan ekspresi terkejut. "Setelah kalian menonton latihan kami?"
"Er… yeah…" sahut Naruto, meringis.
"Ngapain?"
"Mereka bilang mau cari tempat penyewaan perlengkapan. Katanya yang terakhir itu terlalu mahal," Sai lah yang menjawabnya.
Dahi Sakura berkerut. "Kan bisa dicari lain waktu," ujarnya tak habis pikir. Gadis itu melempar tatapan mencela pada Naruto. "Hah.. dasar cowok suka cari penyakit. Pantas saja Sasuke jadi sakit begitu. Tadi pagi waktu aku meneleponnya dia nyaris tidak bisa ngomong!"
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amis Pour Toujours
Teen FictionBefore the graduation. Konyol memang, jika Sakura mengingatnya kembali sekarang. Tapi ia tak akan pernah menyesalinya. Hari ketika Naruto memutuskan untuk melayangkan tinjunya pada Sasuke di koridor sekolah adalah hari bersejarah dalam hidupnya. Ha...