Sudah lewat dua puluh menit semenjak Sakura duduk di sana, di sudut yang sama di perpustakaan tempat gadis itu melewatkan waktu istirahat makan siangnya dengan sesi diskusi dan berlatih dialog ringan drama bersama Neji dua hari belakangan. Hanya saja kali itu ia duduk sendirian, bertopang dagu sambil sesekali mengerling arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Buku yang terbuka di depannya sama sekali tidak diperhatikan.
Sakura menghela napas seraya menyandarkan punggung ke sandaran kursi yang didudukinya. Entah untuk keberapa kalinya gadis itu melirik ke arah pintu masuk perpustakaan. Belum ada tanda-tanda orang yang ditunggunya bakal muncul di sana, yang muncul malah seorang cowok pirang kelas tiga berpenampilan kalem yang dikenalinya sebagai ketua OSIS, Menma, bersama beberapa orang temannya. Sakura mengeluh pelan sambil berpaling lagi ke bukunya.
Neji lama sekali, Sakura membatin resah. Tidak biasanya cowok itu terlambat begini. Hari sebelumnya malah ia yang datang duluan...
Eh, tunggu dulu! Punggung Sakura menegak. Apa kemarin Neji mengatakan sesuatu tentang pembatalan sesi ini dan ia tidak mendengarnya-karena terlalu sibuk berdebar-debar?
Kernyitan dalam muncul di antara kedua alisnya ketika ia berusaha mengingat-ingat kembali. Tidak, gadis itu membatin, kembali menyandarkan punggungnya ke kursi. Neji sama sekali tidak membatalkannya. Mereka malah berjanji akan bertemu lagi di tempat itu esoknya-sekarang.
"Kalau begitu besok kita bertemu lagi di sini," begitu kata Neji kemarin.
Tapi kenapa sampai sekarang ia belum datang? pikir Sakura sambil menggerigiti kukunya-kebiasaannya setiap kali merasa cemas. Apa dia lupa? Atau ia sedang sibuk dengan hal lain? Tugas? Proyek kelulusan? Klub komputernya? Atau... cewek?
Sakura menggelengkan kepala kuat-kuat untuk mengusir keluar bayangan Yakumo dan Neji yang sedang bersama-sama dari otaknya.
'Tidak, tidak! Tentu saja tidak!' Sakura berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Mereka kan sudah putus. Seharusnya tidak ada urusan lagi-yah, kecuali urusan pementasan. Urusan antara sutradara dan pemainnya. Tidak lebih dari itu. Titik, tidak pakai koma.
Tiba-tiba saja perutnya bergemuruh keras. Sakura mengeluh pelan.
Aku lapar...
Tadi pagi ia tidak sempat sarapan karena bangun kesiangan. Masih untung ia tidak terlambat masuk ke kelas pertamanya -Sakura tiba di sekolah tepat sebelum bel berbunyi- dan itu semua gara-gara Sasuke. Tepatnya gara-gara ia chatting semalam suntuk dengan cowok itu setelah pulang dari rumah Ino. Entah apa yang membuat Sasuke begitu banyak bicara-mengetik-semalam, biasanya hanya hn hn saja. Dan berakhir dengan sedikit pertengkaran karena Sasuke dengan seenak jidat telah menuding Sakura sudah menjadi penyebab ia lupa mengerjakan PR malam itu.
Sakura merogoh sakunya, mengeluarkan sebungkus permen cokelat, membuka bungkusnya lalu memasukkannya ke dalam mulut. Lumayan untuk mengganjal perut. Setidaknya ada tambahan kalori walau sedikit...
"Sakura?"
"AstaganagaKamjaggya!" Sakura terlonjak kaget dari kursinya ketika ada yang tiba-tiba saja menepuk bahunya dengan keras dari belakang. Gadis itu memutar kepalanya. "Ino!" desisnya mencela pada gadis pirang yang entah sudah berapa lama berdiri di belakangnya, nyengir. "Mengagetkanku saja!"
Ino mengikik kecil. "Sori... Sedang menunggu Pangeran Hyuuga-mu, ya?" godanya.
Sakura merasakan wajahnya menghangat. Tidak tanya juga sudah tahu, kan? Bukankah kemarin mereka baru saja membicarakannya? Alih-alih menjawab, gadis berambut merah muda itu malah balik bertanya dalam bisikan rendah -mengingat mereka sedang berada di perpustakaan- "Ngapain kau kemari?"
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amis Pour Toujours
Teen FictionBefore the graduation. Konyol memang, jika Sakura mengingatnya kembali sekarang. Tapi ia tak akan pernah menyesalinya. Hari ketika Naruto memutuskan untuk melayangkan tinjunya pada Sasuke di koridor sekolah adalah hari bersejarah dalam hidupnya. Ha...