"Bukan begitu, Naruto. Sai cuma bergurau," Sakura berusaha meyakinkan sahabatnya yang kelewat cemas lewat ponselnya senja itu. Sudah lima menit berlalu sejak Naruto meneleponnya dan nada suara Sakura sudah mulai terdengar tak sabaran. "Aku tidak kencan betulan dengan Sai, sungguh. Kami sudah merencanakannya lama, kok."
Tetapi sepertinya Naruto tidak sepenuhnya bisa diyakinkan. Sikap mesra Sai terhadap Sakura nyatanya sudah membuatnya cemas bukan kepalang kalau-kalau cowok itu berniat menggunakan sahabat perempuan mereka sebagai pelampiasan untuk melupakan kisah suramnya dengan Ino. Belum lagi Sakura yang belum lama terlepas dari Neji –gadis itu masih teramat rentan. Bagaimana jika mereka terlibat kisah sesaat karena terbawa emosi mereka yang masih labil –kemudian berujung pada sakit hati yang lain? Berbagai macam spekulasi mengerikan bermunculan dalam kepalanya. Kecuali bahwa kemungkinan Sai hanya sedang bergurau, sebagaimana yang dipikirkan oleh Sakura.
Berbeda dari Naruto, Sakura menanggapi tingkah aneh Sai siang tadi dengan lebih santai. Meskipun sebenarnyanya ia sempat terkejut dan tak bisa berkata apa-apa sebelumnya, mengingat selama ini Sai bukanlah tipikal orang yang terlalu senang bergurau dan selalu bersikap sungguh-sungguh –yang kadang terasa begitu polos dan membuatnya gemas sendiri. Namun Sakura berusaha tidak terlalu berprasangka pada Sai. Barangkali saja cowok itu sedang mencoba membuat lelucon, atau sedang berusaha menggoda seseorang yang mereka tahu. Yang terakhir itu, sepertinya panahnya salah sasaran.
Bukannya berhasil memancing kecemburuan Sasuke, ia malah mengusik sisi protective Naruto terhadap satu-satunya wanita dalam kelompok kecil mereka. Sasuke malah terlihat cuek saja, sama sekali tidak berkomentar –atau sebenarnya Sasuke tidak ingin memperlihatkannya di depan yang lain, tidak ada yang tahu.
"Tapi kalau dia sampai berbuat yang tidak-tidak padamu, kau harus bilang padaku. Biar kutendang nanti bokongnya!"
"Sai tidak akan berbuat seperti itu padaku, Naruto," sahut Sakura tak sabar seraya memutar bola matanya yang berwarna hijau cerah. Ia menghela napas keras-keras. "Sudah, ah. Masa kau tidak percaya pada Sai? Dia kan sahabat kita."
"Bukannya aku tidak percaya padanya. Tapi—"
"Hei, bukannya sekarang kau harus berangkat ke panti?" sela Sakura sebelum Naruto sempat mengomel lebih banyak lagi. Geez, Naruto bisa lebih cerewet dari ibunya yang khawatir kalau mau. "Jangan buat adik-adikmu menunggu, Naruto."
Tepat saat itu dari seberang telepon terdengar suara Iruka yang memanggil Naruto, bertanya apakah ia Naruto sudah siap berangkat apa belum.
"Tuh, ayahmu sudah memanggil," seru Sakura, senang menemukan alasan untuk mengakhiri pembicaraan yang membuat kepalanya pening itu.
Di seberang, Naruto mengerang enggan begitu tahu mau tak mau ia harus melepaskan Sakura. "Oke deh. Tapi kau jangan sampai termakan rayuan gombalnya, Sakura. Sejak dulu aku tahu Sai berbakat jadi tukang rayu. Kalau dia sudah begitu, bilang saja kau sedang menaksir cowok lain –Lee atau Temujin atau Sumaru, siapa sajalah."
Sakura tergelak, setengah jengkel setengah geli. Menurutnya kali ini Naruto sudah kelewat konyol. "Itu tidak mungkin, Naruto. Aku bukan tipe cewek yang bakal ditaksir Sai. Kau tahu sendiri dia dulu menyebutku 'jelek'."
"Itu kan dulu, Sakura. Sekarang siapa yang tahu, kan?" Naruto mendesah pelan.
"Naruto, dengarkan aku," ucap Sakura tegas, "Sai dan aku barangkali memang baru patah hati, tapi kami tidak akan berbuat sejauh itu. Kami hanya ingin menghibur diri, kau tahu, mencoba bersenang-senang. Kami juga sempat mengajakmu dan Sasuke, ingat? Kalau kami berniat berkencan sungguhan, kami tidak akan dengan begonya berkoar di depan kalian. Jadi jangan khawatir, oke?"
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amis Pour Toujours
Teen FictionBefore the graduation. Konyol memang, jika Sakura mengingatnya kembali sekarang. Tapi ia tak akan pernah menyesalinya. Hari ketika Naruto memutuskan untuk melayangkan tinjunya pada Sasuke di koridor sekolah adalah hari bersejarah dalam hidupnya. Ha...