Hari Senin paginya, Naruto sudah kembali ke sekolah diantar oleh ayahnya. Melihat gerbang Konoha High yang kian mendekat itu membuat semangatnya meletup-letup. Rasanya sudah lama sekali sejak ia terakhir kali masuk ke kelas, makan siang di kantin yang ramai, mengobrol seru dengan teman-temannya dan ikut kegiatan klub sepulang sekolah. Namun ada satu hal yang membuatnya merasa kehilangan... tidak akan ada Sasuke lagi di sana. Padahal hal yang paling sering dilakukan Sasuke adalah mencemooh dan mencibirnya, tapi tetap saja, membayangkan tidak akan melihat sosok jangkungnya yang pongah itu mondar-mandir di koridor sekolah membuatnya merasa sedikit kesepian.
"Sudah sampai," suara Iruka membuyarkan lamunan Naruto.
"Oh, yeah." Naruto buru-buru melepaskan sabuk pengamannya, mengenakan tas dan membuka pintu mobil.
"Hati-hati, Naruto," pesan Iruka ketika Naruto turun dari mobil dengan bertopang pada kruk-nya.
"Oke, Dad!" seru Naruto nyengir, lalu menutup pintu mobil ayahnya. Ia masih berdiri di depan gerbang, mengawasi sampai wagon ayahnya menghilang di ujung jalan. Dengan senyum lebar, Naruto berbalik memandang gedung sekolah yang sangat dirindukannya sambil menarik napas dalam-dalam. Udara pagi yang sejuk merasuk ke paru-parunya, membuat semangatnya kian terangkat.
Ko-High, I'm coming!
Tepat saat itu, bus sekolah yang berwarna kuning berhenti di depan gerbang. Anak-anak berduyun-duyun turun dari bus sambil ramai mengobrol dan mengucapkan selamat pagi pada teman-teman mereka yang datang dengan berjalan kaki. Naruto melihat kapten tim sepakbolanya di pertandingan yang lalu, Lee, baru saja turun dari bus bersama sobat kentalnya, Neji Hyuuga. Seorang gadis berambut gelap panjang dengan tampang malu-malu turun di belakang mereka.
"NARUTO!" sapa Lee penuh semangat sambil melambaikan tangannya.
"Pagi semua!" balas Naruto cerah. Ia bahkan bisa menoleransi ketidaksukaannya yang tak beralasan-sebenarnya sih beralasan-pada Neji dan menyapa cowok berambut cokelat gelap itu. Sepupu Neji yang pemalu, Hinata, agak terkejut melihat Naruto. Namun ia tetap menyunggingkan senyum cerah pada cowok pirang itu sambil menggumamkan selamat pagi.
"Bagaimana kakimu? Sudah mendingan?" tanya Lee. Mereka sekarang berjalan beriringan menuju bangunan kampus mereka. Hinata berjalan agak jauh dari mereka, mengawasi Naruto diam-diam dari sudut matanya.
"Yah, begitulah... Sebentar lagi aku akan terbebas dari tongkat ini dan bisa main bola lagi!" kata Naruto dengan nada ringan.
Lee tertawa, menepuk bahu Naruto keras-keras. "Jangan terburu-buru begitu, Naruto. Masih ada jeda beberapa bulan sebelum masuk musim pertandingan lagi." Cowok bermata bulat itu menghela napas keras-keras. "Tapi sayang sekali anak-anak kelas tiga sepertiku tidak bisa ikut main lagi. Kami harus berkonsentrasi pada ujian akhir. Kau tahu, kan..?"
Naruto nyengir diam-diam. Tentu saja ia tahu hal itu, karena itu artinya lebih banyak kesempatan untuknya bisa unjuk kebolehan lagi. Apalagi setelah kemenangan mereka di pertandingan persahabatan yang lalu. Kalau ia cukup beruntung kakinya bisa cepat sembuh, bisa dipastikan ia akan masuk ke dalam tim inti lagi, atau malah menjadi kapten tim! Ah, tapi Naruto tidak terlalu berminat menjadi kapten.
Mereka sedang menaiki undakan menuju pintu utama ketika Lee tiba-tiba bertanya, "Kau sudah dengar tentang audisi untuk drama tahunan klub teater?"
"Yap!" sahut Naruto seraya mencoba menahan keseimbangannya sementara kakinya yang sakit menapak di tangga -ia selalu mengalami sedikit kesulitan setiap kali naik tangga-"Aku dengar dari Sakura. Dia juga ikut soalnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amis Pour Toujours
Teen FictionBefore the graduation. Konyol memang, jika Sakura mengingatnya kembali sekarang. Tapi ia tak akan pernah menyesalinya. Hari ketika Naruto memutuskan untuk melayangkan tinjunya pada Sasuke di koridor sekolah adalah hari bersejarah dalam hidupnya. Ha...