Chapter 22 : Hilang Kendali

174 29 4
                                    

Suara musik klasik mengalun lembut memenuhi ruangan beratap tinggi itu. Sesosok jangkung berambut hitam pekat berdiri di tengah-tengah ruangan, matanya terpejam sementara ia berkonsentrasi menangkap setiap nada yang mengalun di telinganya, mencoba mencari apa yang selama ini hilang dari jiwa seninya-sebuah inspirasi.

"Inspirasi bisa didapat dari mana saja, Sai," ia bisa mengingat ucapan sang kakak dengan baik. Kata demi kata. "Kau bisa mendapatkannya dari musik. Salah satu sumber inspirasi yang kusukai. Dengarkan harmonisasi nadanya, biarkan merasuk dalam otakmu, ke jiwamu. Mereka akan menuntunmu..."

Namun harmonisasi yang dimaksud sang kakak tidak kunjung merasuk ke dalam jiwanya. Segalanya tetap kosong baginya. Hampa.

Sai menggeram kesal. Kemudian dibukanya kelopak matanya, menampakkan bola mata kelam yang kosong. Tidak ada ekspresi, seolah mati.

Suara sang kakak kembali berdengung dalam kepalanya, tertawa. "Kau terlalu memaksakan diri. Inspirasi tidak selalu berasal dari musik. Bisa juga dari hal lain. Misalnya saja-seseorang yang penting bagimu..."

Lalu dalam kepalanya kembali berkelebat kejadian di sore hari yang cerah saat itu. Sesosok berambut cokelat muda sedang tersenyum padanya. Tangannya memegang palet dan di depannya, sebuah lukisan dalam kanvas yang sudah setengah jadi.

"Seseorang yang penting?" tanya sosok yang lebih muda, Sai, bingung.

"Bisa siapa saja," lanjut sang kakak, "Keluarga, sahabat atau orang kau cintai..." ia kembali menggoreskan kuasnya lagi. Gerakannya halus dan penuh perasaan, menghasilkan goresan yang juga selembut perasaan yang melingkupinya saat itu-saat ia menggoreskan dengan sempurna wajah sang bidadari.

Sai mengagguk-anggukan kepalanya mengerti. Lalu ia beranjak dari kursinya, mendekati kakaknya, mengintip dari atas bahunya. "Cantik," komentarnya.

"Hm.." gumam sang kakak sambil mengangguk. Tersenyum puas memandangi lukisannya. "Yang asli jauh lebih cantik."

"Jadi dia benar-benar ada?" Sai tersenyum. "Kau sedang jatuh cinta, Kak?"

Sang kakak tidak menjawab, melainkan hanya tersenyum yang segera diasumsikan Sai sebagai 'ya'.

"Jatuh cinta itu... rasanya seperti apa, sih?" tanyanya lagi. Ingin tahu.

"Lebih baik-Jauh lebih menyenangkan dari membuat sebuah masterpiece," jawab kakaknya dengan senyum penuh arti. Ketika dilihatnya sang adik tidak begitu mengerti, ia menambahkan, "Kau akan tahu kalau sudah merasakannya sendiri."

"Jadi gadis ini..." ia mengerling ke arah lukisan kakaknya lagi, "yang menjadi inspirasimu selama ini?"

"Dia yang terbaik," sahut sang kakak lagi.

Tapi inspirasi terbaikmu tidak kutemukan, kak! batinnya marah ketika bayangan masa lalu itu mengabur, menampakkan masa sekarang, di mana tidak ada sosok sang kakak. Padahal aku sudah mencarinya kemana-mana-bahkan aku sampai pindah ke sekolah tempat gadis itu bersekolah! Aku mencarinya di tempatmu dulu biasa menghabiskan waktu. Tapi ia tidak kutemukan di mana-mana!

-Inspirasimu itu.

Matanya yang terpacang memandang kanvas kosong di depannya menyipit. Kosong seperti jiwanya yang hampa. Kosong sejak sang kakak meninggalkannya untuk selamanya, seolah ia telah membawa jiwa sang adik bersamanya-meninggalkannya dalam kekosongan yang mengerikan.

L'amis Pour ToujoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang