Sasuke terbangun sore harinya oleh Naruto yang dengan bising berteriak-teriak menyuruhnya bangun. Dan seperti yang selalu terjadi setiap kali ada orang yang nekat mengusik tidurnya, suasana hati Sasuke langsung memburuk. Akan tetapi tampaknya Naruto, yang saat itu sedang sangat bersemangat, sama sekali tidak menyadarinya.
Entah apa yang akan terjadi jika saja saat itu Sakura tidak tiba-tiba muncul di pintu, bertanya dengan nada ceria apakah semuanya baik-baik saja. Sasuke refleks meraih bantal untuk menutupi bagian atas tubuhnya yang terbuka, tapi tampaknya Sakura tidak begitu memerhatikan.
Gadis itu memakai dress pemberiannya lagi, kali ini dipadu dengan cardigan merah pastel. Dan menyempurnakan penampilannya, ia melempar senyum cemerlang pada mereka—yang dengan sukses membuat hati Sasuke serasa jungkir balik dan langsung melupakan kekesalannya pada Naruto.
Sasuke tidak memerlukan waktu lama untuk bersiap-siap. Tak sampai setengah jam kemudian, ia sudah keluar dari kamar dalam keadaan rapi dan wangi sehabis mandi, dan mereka pun bergegas berangkat menuju teater dengan berjalan kaki.
"Ngapain kau bawa-bawa gitar segala?" Sasuke mengerling tas gitar yang disandang Naruto di punggungnya. "Kau tidak berencana ikut bernyanyi di pertunjukan, kan?"
Mata biru Naruto berkilat-kilat jahil menatap Sasuke. "Apa menurutmu itu ide bagus?"
"Dia berencana unjuk kebolehan di depan kau-tahu-siapa," kekeh Sai. Di sebelah Sasuke, Sakura terkikik.
"Siapa itu kau-tahu-siapa? Voldemort?" Naruto mengerjap bingung. Ia jelas tak menangkap maksud kata-kata Sai.
"Tadi Naruto bilang, dia ingin mendapatkan uang tambahan dengan itu," jelas Sakura sambil menahan kikik. "Kau tahu kan, membuat pertunjukan kecil di jalanan—seperti yang sering kita lihat."
Sasuke tak berkomentar apa pun atas rencana Naruto tersebut, yang langsung disalah artikan oleh yang bersangkutan sebagai reaksi tidak setuju.
"Ya, ya, ya ... aku tahu tampang itu," Naruto menghela napas dengan dramatis sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ekspresinya seolah Sasuke telah menyakiti hatinya. "Kau pasti menganggap itu memalukan, kan? Tapi kau tak perlu khawatir, Tuan Besar, aku akan melakukannya sendiri. Lagi pula aku sama sekali tidak berminat mengajak orang yang buta nada."
"Naruto," tegur Sakura, mengernyit. "Jangan mulai lagi."
Namun di luar dugaan, Sasuke tidak tampak tersinggung. "Hn. Bicara saja sesuka hatimu, Naruto," sahutnya, berlagak tak peduli, seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
Sakura menghela napas keras. Terkadang ia berharap Sasuke dan Naruto bisa lebih sering saling berkomunikasi dengan cara yang normal seperti sepasang sahabat pada umumnya, bukannya terus-menerus saling menyindir dan memancing pertengkaran yang tak perlu. Tapi justru yang seperti itulah yang membuat keduanya dekat.
Mendekati distrik tempat teater yang mereka tuju berada, jalanan semakin ramai dengan pejalan kaki yang berlalu-lalang. Cahaya lampu dari pertokoan di kanan-kiri jalan, juga alunan musik dari para musisi jalanan semakin menambah semarak suasana malam di Kiri yang khas.
Naruto menjulurkan leher di atas kepala kerumunan orang ketika mereka sudah mendekati teater, mencari-cari. Sampai pandangannya menangkap sosok-sosok yang dikenalnya, senyumnya melebar. "Mereka sudah datang!" serunya seraya melambai-lambaikan tangannya dengan bersemangat ke arah Neji dan kedua sepupunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amis Pour Toujours
Teen FictionBefore the graduation. Konyol memang, jika Sakura mengingatnya kembali sekarang. Tapi ia tak akan pernah menyesalinya. Hari ketika Naruto memutuskan untuk melayangkan tinjunya pada Sasuke di koridor sekolah adalah hari bersejarah dalam hidupnya. Ha...