Pagi itu secerah yang bisa diharapkan di hari-hari awal musim semi –dan penghujung musim dingin. Udara masih terasa dingin, namun tidak sedingin saat salju masih sering turun sehingga orang-orang bisa tahan keluar rumah tanpa mengenakan baju hangat. Seperti yang dilakukan Itachi Uchiha. Pria muda itu hanya mengenakan kaus oblong abu-abu yang sudah agak usang dan celana piama saat keluar rumah untuk mengambil koran paginya.
Seperti biasa, sapaan para tetangga yang ramah –bahkan kelewat ramah—segera menyambutnya. Termasuk tawaran sarapan bersama yang menggiurkan dari seorang ibu-ibu tetangganya –sudah menjadi rahasia umum bahwa bibi itu menginginkan Itachi mau menjadi menantunya bagi anak gadisnya yang masih duduk di bangku kuliah!—yang tentu saja ditampik dengan sopan oleh yang bersangkutan.
"Ah, sayang sekali, Nak," ujar bibi tetangganya itu tanpa repot-repot menyembunyikan mimik kecewa di wajahnya. Wanita paruh baya itu lalu menghela napas dengan dramatis seraya menyemprotkan air lagi pada salah satu pot tanaman hiasnya, "Padahal Emi pasti akan sangat senang kalau kau mau sarapan bersama kami—"
"Ibu apaan, sih?" tukas Emi—anak gadisnya—menyela ibunya, tampak malu sekaligus kesal. Gadis berambut ikal itu kebetulan sedang berada di luar untuk mengambil surat-surat dari kotak pos di depan rumahnya. "Kak Itachi jangan dengarkan ibuku. Dia memang suka iseng," tambahnya pada Itachi yang hanya tersenyum simpul sambil mengibas-ibaskan setumpuk surat tagihan di tangannya.
"Tidak apa," sahut Itachi dengan tawa sopan, "Bagaimana kuliahmu?" tanyanya berbasa-basi.
"Oh, well—um… lumayan. Oke juga—maksudku… um… kami baru selesai ujian," jawab gadis itu dengan gugup. Dia tersenyum –meringis, tepatnya—pada Itachi sebelum berbalik dan buru-buru masuk ke dalam rumah. Mulutnya komat-kamit memaki dirinya sendiri, "Hauu… Bodoh! Bodoh! Bodooh.. benar-benar memalukan!"
"Putriku sangat cantik, bukan?" tanya sang ibu tak ada hubungannya ketika Emi sudah menghilang di pintu.
"Er…" Itachi yang tidak tahu harus berkomentar apa, hanya tertawa sopan. Ia terselamatkan dari kewajiban menjawab ketika terdengar suara benda diseret dari rumah sebelahnya lagi. Tetangganya yang lain, Nenek Tomoe yang tinggal sendirian, baru saja keluar dari rumahnya sambil menyeret kantung besar berwarna hitam ke tong sampah di depan rumahnya. Wanita tua itu terlihat kepayahan. Melihat itu, Itachi pun bergegas membantunya setelah menyelipkan korannya di pinggang celananya.
"Terimakasih banyak ya, Kosaku," ucap si nenek, setelah Itachi selesai menjejalkan kantung sampah itu ke dalam tong.
"Itachi, Nek. I-ta-chi," Itachi membenarkan dengan suara keras dan lambat, meskipun ia ragu nenek Tomoe akan mendengarkannya atau tidak. Tetangganya yang satu itu selalu saja salah menyebutnya atau Sasuke dengan nama cucunya. Tak peduli berapa kali ia dan adik lelakinya itu membetulkannya.
Nenek Tomoe hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum lebar. Itachi kemudian memapah sang nenek kembali ke dalam rumahnya. Mereka baru saja mencapai undakan ketika seorang wanita muda dengan rambut hitam dibuntut kuda berlari-lari dari arah halte di ujung jalan. Sebuah tas bepergian tersampir di bahunya.
"Nenek… maaf Aya terlambat!" wanita itu, perawat pribadi sang nenek, berkata terengah. Dengan sigap ia segera mengambil alih nenek Tomoe dari Itachi. "Terimakasih sudah membantu, Itachi," ucap suster Aya ramah seraya mengangguk pada Itachi.
"Sama-sama…" Itachi membalas dengan sopan, sebelum kemudian berbalik untuk kembali ke rumahnya sendiri.
Sasuke sudah berada di dapur ketika Itachi tiba di sana. Adiknya itu sudah rapi dengan kaus merah marun lengan pendek berlabel 'Konoha High School Festival – Crew' di bagian punggungnya, yang didobel dengan kaus hitam lengan panjang di bagian dalam, juga celana jeans hitam yang bagian bawahnya sudah agak usang karena terlalu sering bersinggungan dengan sol sepatu. Aroma segar cologne dari tubuhnya berbaur dengan aroma kopi yang sedang diseduhnya di atas meja pantri.
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amis Pour Toujours
Teen FictionBefore the graduation. Konyol memang, jika Sakura mengingatnya kembali sekarang. Tapi ia tak akan pernah menyesalinya. Hari ketika Naruto memutuskan untuk melayangkan tinjunya pada Sasuke di koridor sekolah adalah hari bersejarah dalam hidupnya. Ha...