"Hari ini seharusnya penentuan pemain inti," keluh Naruto keesokan harinya. Saat itu ketiganya-ia, Sasuke dan Sakura, tentu saja-sedang membersihkan seluruh koridor di lantai dua. Naruto memandang rindu melewati salah satu jendela di koridor itu, ke arah lapangan di bawah sana, di mana teman-teman klub sepakbolanya sedang berlatih. "Tapi gara-gara hukuman sialan ini, aku jadi tidak bisa ikut serta," lanjutnya sambil melirik sengit ke arah Sasuke yang sedang mengepel tak jauh dari tempatnya.
Sasuke balas memandangnya tajam. "Kau menyalahkanku?"
"Menurutmu salah siapa kita dihukum begini, eh?" tukas Naruto panas. "Kalau kau tidak menyerangku tanpa alasan, ini tidak akan terjadi."
"Oh, yeah?" Sasuke menghentikan gerakan mengepelnya, "seingatku kaulah yang menyerangku duluan," ujarnya dingin.
Wajah Naruto langsung merah padam karena marah. Ia melempar tongkat pelnya ke lantai hingga menimbulkan bunyi kelontang keras di koridor kosong itu.
"CUKUP!" teriak Sakura. "Kalian ini kerjanya berantem saja terus!" geramnya sambil memandang kesal pada kedua temannya yang masih saling membeliak itu. Dari tadi Sakura menahan diri untuk tidak ikut campur dalam adu mulut mereka, namun ketika ia merasakan tanda-tanda bahaya, ia merasa harus mencegahnya. Gadis itu tidak mau mendapat masalah tambahan lagi gara-gara ulah emosional kedua cowok itu.
"Tch!" Sasuke memalingkan wajah, lalu berjalan ke ujung koridor yang berlawanan, meneruskan mengepel di tempat yang agak jauh.
"Dia itu brengsek!" gerutu Naruto sambil menyambar tongkat pel-nya lagi dari lantai dan mulai mengepel lagi dengan kegeraman yang tampak nyata.
Sakura menggeleng-gelengkan kepalanya dengan letih sambil sekali lagi menghela napas sementara gerakan Naruto terhenti dan matanya kembali memandang ke arah jendela. Ekspresinya cemberut.
"Kalau kau begitu ingin latihan, mengapa tidak bilang saja pada Pak Hatake, Naruto?" tukas Sakura, kesal karena Naruto hanya berdiri saja di dekat jendela. "Minggir minggir..."
"Oh, sori," Naruto nyengir minta maaf, lalu menyingkir dari sana sementara Sakura mengepel tempatnya berdiri barusan. Ia sendiri mulai membersihkan lantai yang masih kotor. "Kau tahu, Sakura? Aku memang merencanakan itu. Tapi aku tidak kunjung punya waktu untuk bicara pada Pak Hatake. Kau tahu kan kita harus selalu bersama-sama-kecuali ke kamar kecil-jadi mana sempat aku-"
"Ya ya ya... intinya karena terjebak bersama kami, kau jadi tidak bisa latihan kan?" sela Sakura. Entah mengapa gadis itu mejadi lekas marah kalau berhadapan dengan Naruto atau Sasuke. "Bilang saja kau menyalahkanku juga!"
Naruto melongo beberapa saat. "M-Maksudku bukan begitu, Sakura. Aku sama sekali tidak menyalahkanmu, justru aku senang karena-"
"Ooh... jadi kau senang aku dihukum ya?" dengus Sakura.
Naruto tampak panik, serba salah. "Bukan begitu... aduh, bagaimana ya menjelaskannya..." Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, kebingungan. "Intinya aku senang bisa menghabiskan banyak waktu denganmu, tapi bukan dalam situasi seperti ini..."
"Tapi masalahnya aku tidak senang menghabiskan waktu denganmu, Naruto," gerutu Sakura.
"Sakura..." kata Naruto lemas, "jangan ngomong seperti itu dong..."
Sakura mengacuhkannya.
Tepat saat itu Kakashi Hatake muncul dari arah tangga. Tas kerjanya tersampir di bahu. Tampaknya guru mereka itu sudah bersiap pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amis Pour Toujours
Подростковая литератураBefore the graduation. Konyol memang, jika Sakura mengingatnya kembali sekarang. Tapi ia tak akan pernah menyesalinya. Hari ketika Naruto memutuskan untuk melayangkan tinjunya pada Sasuke di koridor sekolah adalah hari bersejarah dalam hidupnya. Ha...