Pelipis yang mulai terasa pening itu dipijat pelan oleh jemari yang juga mulai berkeriput milik Sadiman. Membaca berita acara hari ini membuat kepalanya pening tidak menentu.Tangan Sadiman meraih ponselnya dan menghubungi nomor sang ajudan yang pasti sedang berada di dalam rumah yang sama, tepatnya di dalam kamarnya.
"Tra, tolong kemari," Pinta sang komandan pada ajudannya itu.
"Siap, Komandan," Tanpa banyak bertanya, Gatra memakai jaketnya dan celana panjang agar tampak lebih sopan di hadapan Sadiman nanti.
Kana yang tak boleh membantunya membersihkan pecahan gelas itu mendongak, menatap Gatra yang tiba-tiba masuk kamar dan memakai jaketnya. Banyak pertanyaan dalam benaknya, orang ini ingin pergi kemana?
"Ayah kamu manggil saya," Ucap Gatra sembari memakai jaket hitam itu. "Kamu masuk kamar aja, nggak usah dibersihin. Awas aja kalo dibersihin," Ancamnya.
Kana bergidik ngeri merespon ajudan galak ayahnya itu. Sebetulnya Kana ingin bertanggung jawab dan membereskan kekacauan ini, tetapi daripada kena omelan lagi, lebih baik Kana berdiri dan pergi ke kamarnya sendiri.
"Ngapain malem-malem Ayah manggil?" Tanya Kana pada ajudan ayahnya itu.
Tentu saja Gatra menggidikkan bahunya, ia tidak paham mengapa, yang jelas sekarang dirinya harus segera menemui komandannya itu. "Udah sana masuk kamar. Saya mau ke Ayahmu dulu," Ucapnya.
Gatra meninggalkan Kana dan melangkah menuju ruang baca milik Sadiman. Diketuknya pintu itu sebelum suara Sadiman yang menyuruhnya masuk terdengar.
"Tra," Sadiman mengendurkan kacamata bacanya, "Saya mau lihat notulensi rapat bersama dirjen waktu itu," Ungkapnya.
Gatra tentu siap dengan semua itu. Dengan tubuh tegapnya ia pamit untuk mengambil dokumen notulensi rapat tersebut dan menjelaskannya pada sang Komandan.
"Izin lapor, Komandan," Izinnya, "Notulensi rapat laporan keuangan tanggal dua puluh tiga Maret, dengan enam puluh delapan poin penting, selesai."
Sadiman mengangguk dan Gatra menyerahkan dokumen tersebut. Mata lelah pria tua itu membaca dari poin pertama hingga di poin yang membuat matanya terbelalak. Pelipis yang daritadi peningpun semakin menjadi.
"Bacakan poin ke empat puluh lima," Pinta Sadiman. "Mata saya sudah mulai pegal ini, Tra."
"Siap, laksanakan, Komandan," Gatra meraih dokumen tersebut dan siap membacakan isinya untuk Sadiman.
"Poin ke empat puluh lima, dana sebesar 6,9 triliun telah dicairkan seratus persen," Ucap Gatra dengan tegas.
"Lanjut poin berikutnya, Tra," Pinta Sadiman agar Gatra melanjutkan membaca poin-poin notulensi rapat kala itu.
Gatra berdehem sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya, "Poin empat puluh enam, segala rekening yang dimiliki harus dengan persetujuan menteri keuangan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dara Ajudan
Romance[CERITA DIPRIVATE, FOLLOW DULU SEBELUM BISA BACA LENGKAP!] "Ayo pengajuan," Suara berat itu berhasil membuat mata lawan bicaranya sontak terbelalak. "Tapi..." Kana menggantungkan kalimatnya, "Aku nggak mau semua ini cuma karena Ayah," ucapnya lesu...