MAMA BOLEH KOMPROMI

3.5K 399 77
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Berhubung anak-anak sebagian besar uda pada KO termasuk Rumasya yang kecapekan nangis. Aduh, soal Rumasya, aku jadi enggak enak banget sama Nana dan Mas Andra, karena memang jidatnya sedikit benjol. Gyana samsonwati banget tenaganya pas ngayun. Pantes, Rumasya nangisnya sampai kejer-kejer banget. Gyana sendiri? Bengong depan Rumasya dan tadinya sempat merangkak mau ngejar lagi, tapi langsung ditangkep Gyan secepat kilat.

"Gimana?" Tanya Gyan ke aku. Aku baru menghempaskan bokong di samping Gyan. Tadi aku sempat ngikut mereka ke kamar memastikan kondisi Rumasya ada yang luka apa enggak. Tapi Nana bersikukuh enggak apa-apa. Rumasya juga dibawa ke kamar mereka, bukan kamar anak-anak. "Udah gak nangis sih tadi pas aku turun. Dibawa ke kamar Mas Andra sama Nana. Dipisah dulu kayaknya sama anak-anak yang lain." Jawabku dan Gyan terkekeh pelan.

Kalau ada yang penasaran, si pelaku gimana kabarnya? Dia lagi pulas dipelukan Papanya. Seolah dia baru saja menyelamatkan dunia dan tidak ada yang terluka. Namanya juga bayi, ya kan?

"Gyana...Gyana!" Gumam Gyan sambil menunduk menatap teduh putri.... mau bilang mungil nyatanya dia bundar sempurna. Putri paha lipat-lipatnya deh kalau gitu. Di bayi, yang udah pules banget, sambil nempelin pipi gembilnya di dada Papanya.

"Kamu nanti, kalau sudah besar, jangan samson-samson amat ya Nak? Nanti masak ada laki-laki pedekate sama kamu, kamu banting?" Bisik Gyan dan kami berdua tertawa pelan, bayangin Gyana masih aja grubak grubuk sampai besar. "Yang anggun, kayak Mama ya kalau sudah besar. Tapi, kalau ada cowo yang sungguh-sungguh sama kamu, jangan licin-licin amat kayak Mama..." Aku mencubit lengan Gyan yang cengengesan. Masih aja doyan bahas gimana licinnya aku dulu.

"Nangkep Mama, kayak lomba 17an nangkep belut, Nak. Liciin." Sambungnya sambil terkekeh dan aku merengek sambil dorong-dorong pundaknya manja. Gyan melirikku sambil masih menyisakan tawa di wajahnya. Tawa yang selalu menular dan aku jadinya ikut tertawa.

"Aku sih, semoganya, selamanya kita tuh bisa saling menularkan tawa dan suasana yang positif gini ya, Mas. Apapun yang nanti harus kita lewati, ya kita lewati sama-sama dengan saling kerja sama, saling kompak." Bisikku sambil aku berusaha menyandarkan kepalaku di pundak Gyan. Agak effort mohon maaf. Tapi, bukan penghalang. Semua itu...tergantung gimana nyari tekniknya aja.

Gyan mengangguk sambil menatap Gyana "Aku dari dulu kan selalu setuju, Yang. Sama konsep kerja sama dalam ngasuh anak. Yang penting, kamu kalau ada harapan ke aku tuh, ngomong aja terus terang. Gimana juga, aku provider di keluarga. Kadang, pikiranku kepecah belah dengan kerjaan. Aku juga anak laki-laki satu-satunya di keluarga. Aku kadang juga mikirin Mama dan Gendis. Jadi, kalau memang kamu merasa aku lagi harus dikasih tahu, ya kasih tahu aja.,

Jangan dipendam sendirian dan berharap aku ngerti kamu lagi kenapa." Sebenarnya penjelasan Gyan ini, agak ngeselin. Karena, harapanku kan, Gyan udah tahu sendiri dong, peran sertanya sebagai seorang suami dan ayah tuh, harus gimana? Masak, aku harus bolak balik reminder ke dia? Kapan dia nyadar sendirinya?

Our Baby Crib JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang