Gue selesai menerima telepon dari Ola dan otomatis pandangan gue jadi nengok ke meja sebelah, dimana ada Monik dan kedua orang tuanya. Mereka dari tadi tampak mengobrol dengan aura yang cukup serius dan Monik juga seperti banyak dinasihati kedua orang tuanya.
Gue gak pindah ke meja sebelah, bermaksud menjaga privasi mereka bertiga. Dan gue memilih untuk membuka iPad gue dan memeriksa beberapa email yang masuk. "Mas Gyan." Panggil suara seorang lelaki dan gue menoleh, yang ternyata Ayah Monik yang memanggil gue "Sudah selesai sarapannya?" Tanyanya dan gue mengangguk "Alhamdulillah sudah, Pak." Jawab gue dan gue melihat mereka masih ada makanan di piringnya "Silahkan lho, Pak. Santai saja, dilanjutkan makannya." Gue memperkirakan mereka sungkan, mereka belum selesai makan, tapi gue sudah.
Apalagi, gue sudah bilang Monik, supaya bill mereka, dimasukan saja kedalam tagihan kamar hotel kami. Nanti gue yang cover.
Ayah dari Monik yang gue lupa namanya, mengangguk sopan dan menyeka mulutnya dengan kain serbet "Kalau boleh, kami ingin mengobrol sebentar." Pintanya sopan dan gue mengangguk "Ooh! Boleh Pak, silahkan." Jawab gue sambil gue mengangkat gelas air putih gue dan berpindah ke meja mereka.
Gue duduk di antara ayah dan ibuny Monik. Bukan di apit sih, tapi ini mejanya bentuk segi empat, dengan satu kursi di setiap sisinya. Jadi, gue berhadapan dengan Monik.
Ibu Monik tampak melirik Monik dan suaminya bergantian dan Ayah Monik seperti menunduk dalam sebelum akhirnya beliau berdeham dan memandang gue penuh rasa sungkan. "Sebelumnya, kami ingin berterima kasih, karena Mas Gyan, sudah mempekerjakan Monik, dari sejak Monik baru lulus kuliah dan masih tahap belajar, sampai Monik di yang seperti sekarang ini. Allah beri Monik rezeki, berupa ketemu Mas Gyan dan mendapatkan kesempatan belajar yang sengat besar." Ucap Ayah Monik dengan suara yang santun dan bahasa tubuh yang agak terlalu bungkuk-bungkuk menurut gue.
Jujur, gue jadi ikutan sungkan, karena bagaimanapun, beliau adalah orang tua. Mungkin, usia Ayah Monik gak jauh sama Mama. Kalau Ibunya, sudah pasti jauh sama Mama. Monik aja anak sulung dan jauh lebih muda dari gue.
"Saya ingat, waktu itu, Monik lagi susah-susahnya cari kerja. Lamar sana sini, banyak yang gak nerima, karena Monik masih anak baru lulus kuliah. Kami, gak bisa bantu Monik apa-apa, selain doa aja. Karena, yah, Mas Gyan tahu sendiri, kami bukan dari keluarga yang mampu mengantarkan anak kami, lebih dari sekedar menyekolahkan. Uang jajan Monik saja, terbilang pas-pasan." Sambungnya lagi dan gue hanya mengangguk saja, menanggapi.
"Sampai akhirnya, Monik lihat lowongan di tempat Mas Gyan dan ternyata di terima. Itu saya dan Ibunya Monik, rasanya bersyukur sekali. Apalagi, waktu itu Monik ngotot, mau menikah sama Ranu, yang mana dua-duanya sama-sama masih belum punya pegangan apa-apa. Kami dilema, antara melepas dua anak ini menikah tanpa modal apa-apa, atau menahan mereka dengan risiko mereka bisa saja berzina." Ucapnya dan gue mulai gosok-gosok tengkuk. Ini sebenarnya mau bahas apa? Gue agak trauma sama suasana kayak begini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Baby Crib Journey
RomanceKhusus buat yang masih mau lihat lanjutan OLAGYAN dan ekor-ekornya. find out yourself inside. Ini hanya kumpulan extra parts dari OLAGYAN jadi bisa update kapan aja, bisa juga berhenti kapan aja. so enjoooy