29. Masa lalu yang sama

4.8K 474 9
                                        


.
.
.
.
.
Bandung, 2007

Suara mobil yang terdengar memasuki halaman rumah membuat dua anak berusia lima tahun itu segera berlari ke arah pintu.

Cklek

"Ayah pulang!" Si anak laki-laki membuka pintu dengan semangat dan langsung menghambur untuk memeluk kaki sang ayah, namun sayang nya sang ayah justru melewatinya tanpa senyum dan langsung menggendong sang anak perempuan.

"Hore ayah pulang." Sang anak perempuan tertawa bahagia saat sang ayah menciumi wajahnya, mengabaikan si anak laki-laki yang menatap ke arah keduanya.

"Ayah, Agra juga mau gendong!" Si anak laki-laki segera menyusul ayah dan adik perempuan nya.

"Ayah mau gendong juga." Agra menarik celana bahan sang ayah, mencoba mendapatkan perhatian dari lelaki dewasa itu.

"Agra, jangan ganggu ayah. Ayah capek baru pulang kerja, jangan minta gendong!" Agra menatap polos pada sang bunda yang baru saja mendekat.

"Tapi Vanka boleh gendong ayah, kenapa Agra gak boleh?" Agra menuntut sebuah jawaban, lagi pula otak kecilnya belum terlalu siap untuk mengetahui jika dia di perlakukan berbeda.

"Agra, kalau bunda bilang gak boleh ya gak boleh! Kamu udah besar, jangan merepotkan ayah hanya karena minta gendong!" Agra tersentak kaget saat sang bunda membentaknya, terlebih sang ayah yang hanya diam saja tanpa membelanya, terlalu asik bermain dengan sang bungsu.

"Tapi kenapa Vanka boleh?" Agra tetap tidak mengerti kenapa sang bunda marah hanya karena dia minta gendong, sedangkan Vanka sedang di gendong sang ayah.

"Karena Vanka adik, kamu jadi kakak harus ngalah! Sana masuk kamar, terus tidur!" Agra menggeleng, dia masih ingin di gendong oleh sang ayah walau hanya sebentar.

"Agra, masuk kamar dan tidur! Jangan membuat bunda kamu susah!" Agra kecil langsung berlari masuk kedalam kamarnya, padahal dia hanya ingin di gendong sebentar tapi dia di marahi.

"Agra kenapa gak boleh minta gendong? Agra juga mau kayak Vanka. Agra bikin bunda susah karena minta gendong ayah? Jadi sekarang Agra juga gak boleh minta gendong gitu?" Agra bergumam, lebih tepatnya berbicara sendiri di dalam kamarnya.

"Jadi Agra gak boleh main bola, soalnya nanti bikin Vanka nangis. Gak boleh minta ayan goreng soalnya vanka gak suka, gak boleh minum susu yang ada di kulkas, soalnya itu punya Vanka. Gak boleh lihat sposbob kalau siang, soalnya Vanka mau nya lihat berbi, sekarang gak boleh minta gendong ayah, soalnya ayah gendong Vanka, nanti bunda susah." Agra menyebutkan semua hal yang menjadi larangan untuknya di rumah ini, anak sekecil itu harus dipaksa tau hal-hal yang seharusnya tidak dia tau.

"Agra bingung, terus yang boleh buat Agra lakuin itu apa? Kok semua gak boleh?"
.
.
.
.
.
Jakarta, 2011

Seorang anak laki-laki berusia delapan tahun itu berjalan riang menuju rumah nya, tas ransel berwarna kucing berguncang seiring lompatan-lompatan kecil yang dilakukan oleh sang anak.

"Hehehe...Danish dapat nilai seratus, nanti Danish mau minta ke mama supaya boleh main sama kak Altha sama kak Janesh." Tawa kecil terdengar mengiringi langkah si mungil itu.

Anak laki-laki mungil itu terlihat sangat bahagia hanya karena membayangkan jika keinginannya akan dikabulkan sang mama, karena dia audah mendapat nilai seratus.

Anak laki-laki langsung berlari masuk kedalam rumah begitu melihat jika mobil sang papa sudah terparkir si halaman rumah mereka.

"Danish pulang, mama, papa Danish dapat seratus ulangan hari ini!" Anak itu belum menyadari jika suasana rumah tengah tidak baik-baik saja, tidak seceria nada bicaranya saat ini.

"Mama lihat, Danish dapat nilai seratus." Danish kecil menunjukan kertas ulangannya dengan semangat saat sang mama mendekat.

Plak

Tubuh mungil itu tersungkur saat sang mama bukannya memberikan pelukan justru memberikan sebuah pukulan.

"Sakit." Danish bergumam sambil menyentuh pipinya yang sudah memerah.

"Apa yang kamu lakukan selama disekolah hah? Bukannya saya minta kamu jaga kakak kamu? Kenapa Janesh bisa luka? Kamu sengaja bikin Janesh luka kan! Kamu iri sama Janesh, iya?" Danish menggeleng penuh ketakutan, dia baru pulang dan langsung di sambut oleh kemarahan dari sang mama.

"D-Da-Danish gak ketemu kak Janesh ma, kak Janesh selalu sama teman-teman nya." Danish mencoba membela diri dari kemarahan sang mama, dia mengatakan kebenaran, karena Janesh selalu bersama teman-temannya setiap istirahat.

"Gak usah bohong! Apa jangan-jangan kamu yang dorong Janesh?!" Danish langsung menggeleng heboh, dia tidak pernah menyakiti saudara nya.

"Bukan, Danish gak pernah dorong kak Janesh."

Plak

Lagi-lagi pukulan di terima Danish dari sang mama, padahal dia sudah mengatakan yang sejujurnya.

"Mulai sekarang kamu gak boleh deket-deket sama anak-anak saya!" Setelah mengatakan itu sang mama berlalu pergi meninggalkan Danish yang mencoba mencerna dan memahami maksud ucapan sang mama.

"Danish juga anak mama." Danish bergumam lirih sambil meremat tali tas nya.

"Kamu memang bukan anak mama! Makanya mama sama papa gak sayang kamu, nanti kamu di juga dibuang kalau terus nakal!" Danish menatap tidak percaya pada anak laki-laki yang lebih tua tiga tahun dengannya itu.

"Danish anak mama sama papa kak Altha!" Anak yang di panggil Altha itu menggeleng.

"Anak nya mama sama papa cuma aku sama Janesh, kamu bukan! Mulai sekarang gak usah ajak aku ngomong, aku gak mau ngomong sama kamu!"

"Danish salah apa? Kenapa Danish lagi yang di marahi?" Danish kecil berusaha menghapus air matanya yang mengalir.

Semua harapan Danish satu persatu gugur sejak saat itu, dia tidak berani mendekati Balthasar atau Janesh meskipun dia ingin. Danish takut mendapat kemarahan sang mama lagi, bahkan jika Janesh yang mendekatinya pun Danish buru-buru masuk ke dalam kamarnya.

Dalam otak kecilnya sudah tertulis secara permanen jika dia tidak boleh mendekati Janesh atau pun Balthasar, soalnya mama dan papa tidak suka. Belum lagi ucapan Balthasar yang mengatakan jika dia bukan lah anak dari sang mama.

"Danish anak mama sama papa kan? Kalau bukan gak mungkin Danish tinggal disini. Wajah Danish juga sama seperti kak Janesh, berarti Danish anak mama, saudara kembarnya Kak Janesh."
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.
Selamat siang
Akrala up nih...
Ditungguin gak?

Selamat membaca dan semoga suka ya...

See ya...

-Moon-



Akrala (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang