53. Puncak

2.6K 305 7
                                    


.
.
.
.
.
Savian sadar jika Danish jadi lebih banyak diam setelah dari cafe awan, kurang lebih dia paham jika pembicaraan Danish dan dua temannya tadi pasti kembali mengungkit luka dari pemuda mungil itu.

Savian bersyukur Yuvan mendapat sebuah vila yang cukup bagus untuk mereka sewa, dan itu berhasil membuat senyum Danish kembali merekah.

Savian menatap dalam diam Danish yang tengah duduk di halaman belakang sendirian, anggota yang lain tengah tertidur saat ini. Sepertinya mereka kelelahan karena perjalanan mereka.

"Danish." Savian memutuskan mendekati sang leader, rasanya sangat sakit saat melihat Danish berdiam dengan wajah murung.

"Bang Vian." Savian mengulas senyum tipis.

"Kenapa duduk sendirian disini? Gak dingin?" Danish menghela nafas panjang saat Savian bertanya.

"Dingin sih, tapi gue gabut bang. Yang lain tidur padahal gue pingin keluar cari jagung bakar." Savian terdiam sejenak, memang tujuan awal Danish meminta ke puncak adalah membeli jagung bakar, padahal kan di jakarta atau di bandung sendiri pasti ada yang jual jagung bakar.

"Ambil jaket sana, ayo keluar sama gue." Netra Danish langsung berbinar saat Savian mengatakan hal itu.

"Beneran ya bang?" Savian mengangguk.

"Iya sana, cepetan. Lo gak pernah jalan berdua sama gue kan?" Danish menggeleng pelan.

"Gak pernah, saat gue senggang lo sibuk bang, saat lo senggang gue yang sibuk di studio." Savian tertawa pelan.

"Ya udah, ayo cepetan ambil jaket. Kali ini kita jalan berdua, gue temenin lo cari jagung bakar." Danish mengangguk dan segera bangkit ke dalam. Savian yang melihat itu hanya menggelengkan kepalanya, kenapa semakin lama tingkah Danish semakin menggemaskan.

"Bang Vian ayo!" Savian mengangguk dan membiarkan kan Danish menarik tangannya.

Danish menolak untuk naik mobil, dia ingin jalan kaki. Beruntung vila mereka letaknya dekat dengan warung-warung yang menyediakan makanan dua puluh empat jam, termasuk jagung bakar yang mereka cari.

"Bang Vian, yang lain mau di beliin juga gak?" Savian menggeleng.

"Gak usah, percuma kalau nantinya gak kemakan." Danish mengangguk dan langsung berlari meninggalkan Savian untuk memesan jagung bakar.

"Udah?" Danish mengangguk saat Savian memintanya mendekat.

"Gue pesenin susu jahe biar lo gak terlalu ngerasa dingin." Danish mengangguk dan memilih duduk di samping Savian.

"Bang Vian."

"Hm?"

"Kita di kasih libur sama perusahaan agak lama kali ini, tapi beberapa diantara kita punya jadwal pribadi. Terutama lo bang, jadwal pribadi lo banyak banget selama kita libur." Savian menatap lekat ke arah Danish yang mengatakan hal itu, ada binar khawatir yang Savian tangkap dari netra hitam milik pemuda mungil itu.

"Cuma pemotretan sama syuting untuk brand, gak sepadat jadwal grup kita." Danish merengut, bukan dia tidak ingin anggota Akrala sukses, tapi dia tidak ingin mereka kelelahan.

"Kalau gitu, waktu gue gak ada kerjaan di studio gue boleh ikut lo kan bang? Kayak waktu itu?" Savian menatap Danish dan mengangguk.

"Boleh, lo bebas ikut kalau lo emang gak ada kerjaan yang harus lo kerjain." Danish tersenyum manis saat Savian mengatakan hal itu.

Harus Savian akui jika senyum Danish itu sangat indah, bahkan tawanya pun mampu membuat mereka yang mendengarnya candu. Danish hanya perlu hal sederhana untuk membuatnya tersenyum sangat tulus, sepert hal nya ucapannya tadi, atau bahkan tiga jagung bakar dan dua gelas susu jahe yang baru saja datang kehadapan mereka.

"Udah cepetan di makan jagung nya, habis itu kita balik ke vila. Besok kita balik ke jakarta pagi soalnya." Danish mengangguk paham.

"Siap bang Vian!"
.
.
.
.
.
Setelah sekian lama Savian tidur sekamar dengan Danish, baru kali ini Savian melihat pemuda mungil itu bergelung nyaman di atas kasur, biasanya harus tidur di lantai dulu baru Savian akan memindahkannya ke atas ranjang.

"Bang Vian gue gak bisa tidur." Savian yang baru saja keluar dari kamar mandi menatap bingung pada Danish yang baru saja berucap pelan.

"Tapi lo udah ngantuk gitu." Danish mengangguk.

"Gue ngantuk bang, tapi mata gue gak mau di ajak merem. Biasanya kalau gini gue bakal stay di depan komputer buat ngerjain lagu." Savian menghela nafas sebelum akhirnya memilih ikut naik ke atas ranjang.

Grep

Danish mengerjapkan matanya beberapa kali saat Savian tiba-tiba memeluk nya.

"Bang Vian."

"Hm?"

"Kenapa meluk gue?" Savian menatap lembut pada Danish.

"Perlu alasan ya kalau gue mau meluk lo?" Danish menggeleng pelan.

"Gak sih bang, tapi tumben." Savian mengulas senyum.

"Dulu Janesh selalu minta peluk kalau dia gak bisa tidur, jadi sekarang gue lakuin ke lo." Danish terdiam, dalam ingatannya jangankan pelukan, Danish kecil bahkan tidak pernah ditenangkan saat merasa ketakutan karena petir.

"Gue pingin jadi kak Janesh." Savian mematung saat mendengar ucapan lirih Danish.

"Kenapa lo pingin jadi Janesh?" Danish membalas pelukan Savian sambil meletakan kepalanya pada dada bidang sang tertua.

"Kak Janesh gak pernah sendirian dari kecil, gak pernah bingung harus gimana kalau lagi hujan petir karena mama, papa sama kak Altha pasti nemenin dia." Savian mengelus kepala Danish saat pemuda mungil itu mulai bercerita.

"Kalau lo gimana? Lo takut juga sama petir kayak Janesh gak?" Danish memberikan anggukan kecil.

"Takut, tapi gak boleh takut, soalnya gue harus tidur sendiri. Jadi tiap hujan petir gue tidur di kolong kasur sambil tutupan selimut biar gak denger suara petir. Setiap gue takut gue selalu tidur di bawah kasur biar ngerasa aman." Savian kembali di buat terdiam, apa ini alasan dia sering lihat Danish tidur di lantai, karena selama ini ngerasa takut.

"Sorry." Danish mengernyit dan menatap Savian bingung.

"Kenapa bilang sorry?" Savian menggeleng.

"Karena ngebuat lo cerita kenangan buruk lo." Danish tertawa kecil dan kembali meletakan kepalanya di dada Savian.

"Detak jantung lo kenceng banget bang." Savian memejamkan matanya, ya bagaimana tidak kencang kalau yang membuat debaran itu kencang sedang ada di hadapannya.

"Tapi gue suka dengerin detakannya, bikin gue tenang." Savian terdiam saat Danish mengatakan hal itu.

"Bang Vian, kalau gue minta peluk ke lo lain kali, lo bakal nolak gak?" Savian menggeleng, dia akan terlihat bodoh saat menolak permintaan Danish.

"Gak, lo bisa datang dan meluk gue kapan pun lo mau." Danish tersenyum tipis.

"Makasih bang." Savian mengangguk.

"Udah sekarang tidur, besok bangun pagi terus kita balik ke jakarta." Danish mengangguk.

"Iya tidur tapi sebentar bang, gue mau dengerin detakan jantung lo dulu." Savian tersenyum tipis, dia bahkan tidak keberatan saat rambut Danish yang mulai panjang mengenai lehernya.

"Bang Vian, besok temenin gue ke salon ya bang?" Savian yang sedang mengelus kepala Danish langsung terdiam sejenak.

"Hm?"

"Mau ngewarnain rambut." Savian langsung mengangguk.

"Iya boleh, kalau lo gak capek besok kita ke salon biasa." Danish mengulas senyum tipis tanpa Savian tau.

"Makasih bang, jangan berubah jadi galak lagi ya, lo bikin gue takut."
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.
Akhirnya triple up
Seneng gak?
Danish pingin aku karungin...
Lucu banget...

Selamat membaca dan semoga suka...

See ya...

–Moon–

Akrala (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang