86

716 144 82
                                    

"Bagaimana Azlen bisa membencimu, Mom," jawab Azlen balas memeluk sang ibu erat. "Sementara Mom adalah satu-satunya harap yang selalu Azlen inginkan agar dapat terwujud."

Kalimat itu begitu menyentuh hati. Sherry bahkan merasakan sesak luar biasa saat membayangkan betapa sakitnya menjadi sang putra yang mengharapkan hadir seorang ibu di dalam hidupnya.

"Maaf jika Mom membuat Azlen tidak bahagia selama ini," bisik Sherry sendu. "Mom janji, untuk kedepannya Mom akan selalu ada untuk Azlen dan juga Ale."

Azlen mengangguk setuju meskipun ada sesuatu yang ingin ia tanya sedari tadi. Apakah sang ayah tidak termasuk dalam ucapan sang ibu tadi? Namun keinginan itu hanya bisa ia simpan di dalam hati. Azlen tidak akan memaksakan keinginannya kepada sang ibu.

Sherry melepaskan pelukannya lalu menatap wajah Azlen lekat. Mengamati setiap inci wajah sang putra yang langsung membuat wajah Azlen memerah malu.

"Kenapa menatap Azlen seperti itu, Mom?"

"Mom hanya melihat, ternyata Azlen sangat tampan," puji Sherry tulus. Berada sedekat ini dengan Azlen memberikan rasa nyaman yang teramat ia rindukan.

"Itu karena Mom sangat cantik," Azlen balas memuji membuat Sherry tersenyum lembut. "Banyak yang mengatakan bahwa Azlen mirip Dad. Tapi itu tidak benar, Azlen mirip dengan Mom. Biarkan saja Ale yang mirip dengan Dad."

"Tidak, tidak. Kalian berdua mirip Mom," tukas Sherry sambil tersenyum kecil. Ia mengusap pipi Azlen yang menggemaskan sebelum menggendong tubuh kecil sang putra lalu membawanya ke ranjang. "Sekarang ceritakan sedikit tentang Azlen dan juga Ale pada Mom."

Azlen tampak berpikir sejenak sambil menekan jari telunjuknya ke pipi. "Ale takut petir dan gelap," Azlen bermonolog. "Kami berdua alergi pada susu. Hmm,, apa lagi ya. Ah ya, Ale itu suka sekali marah-marah Mom. Jika dia sudah merajuk, maka akan sedikit sulit membujuknya kembali."

Sherry tersenyum tipis mendengar jawaban itu. "Boleh Mom tahu nama panjang Ale, Sayang?"

"Azalea Laura Johnson, Mom," jawab Azlen.

Nama yang indah. Terlebih Dave menyematkan nama belakangnya pada sang putri membuat rasa haru mengerubungi hatinya. Sherry menangkup wajah mungil Azlen lalu mendekatkan hidung mereka. "Jadi bagaimana dengan Azlen? Apa Azlen juga takut petir dan gelap?"

Seketika Azlen menunduk. Tak lama kemudian ia meluruskan pandang menatap sang ibu sambil berkedip polos. "Sebenarnya Azlen juga takut petir dan gelap, Mom. Tapi Azlen menyembunyikan itu semua."

"Kenapa?"

"Saat ada petir, Ale akan langsung menangis kuat. Jika Azlen juga menangis, maka Ale akan semakin ketakutan. Jadi, setiap kali petir, maka Azlen akan menjadi pelindung bagi Ale."

"Kenapa Azlen memaksakan diri seperti itu, Sayang?" Tanya Sherry lembut. Sedikit tak menyangka Azlen bisa bersikap demikian di usianya yang masih sangat kecil seperti ini. Mungkinkah Dave menuntut sesuatu pada sang anak?

"Azlen tidak memaksakan diri, Mom. Azlen melakukan itu semua karena Azlen ingin melindungi Ale saat Dad tidak bisa melakukannya," jawab Azlen sambil tersenyum lebar. "Dan lagi, Dad pernah bilang. Selain Dad dan Mom, yang bisa Azlen percayai hanya diri Azlen sendiri dan juga Ale," lanjutnya bijak. "Ah ya satu lagi, juga tidak boleh menceritakan kelemahan kita kepada orang lain karena itu akan menjadi kunci bagi orang jahat untuk mengendalikan kita."

"Apa Dad yang mengatakan itu juga?"

Azlen menggeleng. "Mika yang mengatakannya. Dan menurut Azlen itu benar."

Sherry mengangguk kecil sambil menangkup wajah Azlen gemas lalu menciumnya. "Azlen memang paling pintar," puji Sherry.

"Tentu saja! Karena Azlen memiliki otak cerdas milik Mom dan juga Dad," jawab Azlen antusias dengan nada bangga. Senyum secerah matahari menghiasi wajah tampan menggemaskan itu.

STAY WITH ME#4Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang