88

889 153 47
                                    

"Kenapa ruang bermain berserakan sekali, Ale? Sungguh seperti kapal pecah!" Azlen mengomel sambil berkacak pinggang menatap sang adik yang sedang duduk santai sambil bermain game di ponsel.

"Oh, tadi ada angin puting beliung yang menghamburkan seluruh mainan di sana, Azlen," jawab Ale tak acuh tanpa menatap ke arah Azlen. Tampaknya memainkan game itu jauh lebih seru ketimbang harus mendengar omelan sang kakak.

Azlen mendengkus. Omong kosong seperti apa itu?! "Berdiri! Kita bersihkan sekarang juga sebelum Mika melihatnya. Jangan merepotkan Mika, Ale."

Ale menggembungkan kedua pipinya yang berlemak dengan wajah kesal lalu meletakkan ponsel ke samping. Ia lantas berdiri sambil menatap Azlen galak sebelum melangkah ke ruang bermain.

Setengah jam kemudian, keduanya tampak terlentang di atas karpet dengan napas terengah.

"Aku lelah sekali," keluh Azlen sambil mengusap keringat yang bercucuran di keningnya. Pantas saja Mika suka mengomel jika membersihkan ruang bermain, ternyata memang se-melelahkan itu.

Ale mengangguk setuju. "Sama! Ale juga lelah, Azlen."

Seketika Azlen langsung menoleh menatap Ale dengan kening berkerut. "Kau tidak melakukan apa-apa sama sekali dari tadi, Tuan Putri. Bagaimana kau bisa lelah?" Tanya Azlen tak habis pikir. "Semua mainan di ruangan ini aku sendiri yang membereskannya."

"Tapi aku juga membantu dengan menyemangati Azlen," jawab Ale tak mau kalah. "Itu juga sama-sama melelahkan."

Azlen menghela napas panjang. Ale benar-benar menguji batas kesabarannya. Tapi untuk marah kepada adiknya ini, ia sungguh tidak bisa melakukannya.

"Azlen?"

"Hmm."

"Kemarin Azlen pergi kemana?" Tanya Ale. "Mika hampir menangis karena tidak menemukan Azlen di rumah."

"Pergi sebentar," jawab Azlen dengan jantung berdebar kencang. Membohongi Ale agak sedikit sulit. Terlebih saat ini ia tidak bisa menumbalkan sang ayah jika ingin mendapatkan maaf dari adiknya itu.

"Pergi kemana hingga membuat Azlen melompati pagar?" Ale masih menuntut jawaban yang jelas. Ia melirik ke arah Azlen membuat sang kakak menahan napas. "Azlen tahu bukan apa akibatnya jika berbohong pada Ale?"

Azlen tertawa sumbang sambil mengangguk cepat. Bagaimanapun ia tahu akibatnya jika berbohong pada Ale, Azlen tetap tidak mau mengingkari janjinya kepada sang ibu. Ini adalah pertama kalinya ia bisa membantu, dan Azlen tidak mau merusaknya. Ia akan menerima amarah dari Ale nanti.

"Azlen berbohong padaku," ucap Ale yang langsung duduk menghadap Azlen yang masih berbaring. Kedua tangannya terlipat di depan dada, maniknya menyorot tajam ke arah Azlen yang masih tertawa sumbang. "Apa Azlen kemarin pergi menemui Mom?

Nah, sekarang apa yang harus ia jawab?!

"Azlen, aku menunggu jawaban."

Azlen masih tidak menjawab. Ia sendiri bingung mau mengatakan hal sebenarnya atau memilih untuk diam. Jika dirinya menjawab iya, maka Azlen harus mengingkari janjinya sendiri.

"Apa begitu berat mengatakannya kepadaku, Azlen?"

Azlen menghela napas panjang lalu beringsut duduk menghadap Ale. Ia mengulas senyum  manis yang sama sekali tidak berpengaruh kepada sang adik yang masih menatapnya galak. "Ale, aku sebenarnya tidak mau berbohong kepadamu. Tapi aku benar-benar tidak bisa mengingkari janji ini."

Ale berkedip beberapa kali sebelum menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Melihat raut wajah Azlen yang merasa bersalah membuatnya tidak bisa marah sama sekali. "Apa ini semua ada hubungannya dengan Mom?"

STAY WITH ME#4Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang