PIGALLE/ PARIS
RED LIGHT BAR
"Aku pikir dengan minum banyak alkohol akan membuatku mabuk dan melupakan semuanya, ternyata aku salah. Semakin banyak meminumnya malah membuatku semakin sadar dan mengingat semuanya. Sebenarnya apa yang sudah terjadi denganku," ucap seorang pria yang sejak beberapa jam lalu duduk di sebuah counter dengan di temani alkohol dan satu pria lainnya yang masih terlihat sabar duduk di sampingnya sambil mendengarkan semua ocehannya.
"Seharusnya kau tahu, jika alkohol tidak akan membuatmu terlepas dari masalah yang kau hadapi saat ini? Bahkan kau akan kembali mendapatkan masalah baru jika Nyonya Veronica sampai tahu, jika sekarang kau sedang berada di sebuah Bar sambil mabuk-mabukan."
"Setidaknya aku tak di rumah dan menghabiskan waktu untuk berdebat dengan Zein, aku sangat lelah menghadapinya, sebenarnya apa yang Ibu pikirkan? Aku tidak pernah menyetujui pertunangan ini, tapi ia tak pernah mendengarku sama sekali, apa aku benar-benar putranya? Kenapa aku marasa jika Ibu sangat egois."
"Aku tahu, your Mom just feels if it's the best for you, dan suka atau tidak, kau harus menerimanya."
"Ini gila. Aku tidak mencintainya sedikit pun."
"Karena hatimu sudah di isi oleh seseorang, itulah kenyataannya. Dan itu juga yang akan membuatmu terus merasakan sakit sampai kapan pun. Saranku, sebaiknya lupakan dia dan mulailah berpikir untuk membuka hati. Nyonya Veronica tidak akan menarik keputusan yang sudah ia ambil. Aku rasa kau yang lebih tahu sipat dan tabiat ibumu," balas Arbern, sedang pria itu hanya bisa terdiam dan kembali meraih gelas yang sudah terisi minuman untuk di teguknya hingga tandas, "kau sudah sangat mabuk, Tuan muda. Bagaimana jika pulang saja? Kau tak terbiasa dengan alkohol, aku khawatir tubuhmu tak bisa menahannya, kau bisa sakit."
"Tapi aku baik baik saja, Albern."
"Yah, itu menurutmu, lihatlah. Kau bahkan sudah tak bisa menahan keseimbangan tubuhmu lagi."
"Ah, kenapa kau menjadi sangat cerewet sekarang? Baiklah kita akan pulang, tapi aku butuh ke toilet sebentar," balas pria itu beranjak dari duduknya dengan perlahan sambil memegang apa saja untuk menahan tubuhnya agar tak terjatuh.
"Biar aku mengantarmu."
"Tidak perlu, aku bisa sendiri."
"Tapi kau tampak kesulitan," balas Albern yang masih memegang lengan pria itu.
"Aku sungguh baik-bak saja, sebaiknya kau menungguku di sini," tolak pria itu berjalan dengan langkah sempoyongan.
Seorang pria berwajah tampan yang nyaris sempurna dengan setelan jas lengkap membalut tubuh tinggi proposionalnya. Melangkah mengintari koridor lantai dua sebuah Bar yang ia kunjungi malam ini. Tempat yang dikenal sebagai kawasan prostitusi dan kehidupan malam yang eklektik di bawah sinar lampu lampu neon. Bahkan sejak tadi ia masih berusaha mencari tempat untuk mengeluarkan semua isi perutnya yang semakin bergejolak di sebabkan oleh alkohol yang sudah ia konsumsi sejak beberapa jam lalu. Hingga di detik berikutnya.
BRUAK!
"Ah, sialan. Apa yang kau lakukan di kamarku, Tuan?!" tanya sang pemilik kamar, yang tak mampu menyembunyikan keterkejutannya, saat dengan tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, dan menampakkan seorang sosok pria yang kini sudah berdiri tepat di hadapannya.
"Kamar? Bukankah ini toilet?"
"Toilet? Are you crazy? Anda sedang berada di dalam kamarku sekarang, apa kau tak bisa membedakan sebuah kamar tidur dengan toilet?" tanya sang pemilik kamar bersidekap.
Sedang si pria sepertinya baru saja menyadari jika sudah salah memasuki sebuah ruangan, terlebi saat tahu jika ruagan yang baru saja ia masuki adalah milik seorang Omega. Lekas memundurkan langkahnya sambil mencengkram kuat rambutnya ketika mulai merasakan pening yang membuat perutnya semakin bergejolak.
"Maaf, aku pikir ini ...."
"Tidak masalah," sela Omega itu, "Anda terlihat tak begitu tahu dengan tempat ini, dan Anda sangat mabuk, aku rasa itu mempengaruhi penglihatan Anda, bahkan Anda tak bisa melihatku sekarang."
"Maaf ...."
"Kau sungguh menggangguku, kau menerobos masuk begitu saja dan mendapatiku tak berbusana," potong sang Omega yang spontan membuat pria itu kebingungan dan kembali memundurkan langkahnya.
"M-aaf," ucap sang pria lekas membuka jas, dan langsung melemparkannya tepat ke arah tubuh sang Omega di hadapannya, yang memang terlihat polos tanpa busana satu pun, "gunakan itu," sambungnya.
"Aku tak butuh ini, aku cukup gerah dan tak ingin sehelai benang pun menempel di tubuhku," balas Omega itu kembali melemparkan jas tersebut kepada pemiliknya.
"Terserah kau, maaf jika membuatmu tak nyaman," ucap pria itu membalikkan tubuh hendak pergi.
"Lalu kau akan ke mana?"
"Pergi."
"Begitu saja?"
"Yah, atau kau tak masalah jika aku menggunakan toiletmu?"
"Kau hanya berbohong, 'kan?"
"Maksudnya?" tanya pria itu mengernyit, dengan pandangan yang kembali tertuju ke arah wajah Omega di hadapannya, meski ia cukup kesulitan untuk melihat wajah itu dengan jelas.
"Toilet hanyalah alasan Anda."
"Sebaiknya aku pergi," Balas pria itu enggan berdebat di dalam kondisinya yang sekarat karena mabuk, dan kembali melangkahkan kakinya.
"Kau ingin bercinta denganku?" tanya sang Omega yang lagi-lagi menghentikan langkah kaki pria itu dan kembali berbalik padanya.
"Kau gila?"
"Bukankah itu tujuan Anda masuk kemari?"
"Kau lupa jika sejak awal aku membutuhkan toilet? Lagi pula kenapa kita harus tidur bersama? Aku tak mengenalmu," balas sang pria menatap tajam, hingga di detik kemudian, saat jatungnya tiba-tiba berdebar dengan sangat kencang, ketika berusaha mempertajam pandangan dan tak sengaja menatap dalam manik mata kecoklatan terang milik sang Omega yang kini berdiri sangat dekat dengannya. Sebuah manik mata indah yang penuh dengan kehangatan.
Pavel, akhirnya aku menemukanmu. Ini sungguh kau, mata kecoklatan yang indah itu milikmu, dan hanya kau yang memilikinya.
Sang pria mengulurkan tangan dan menangkup kedua belah pipi sang Omega yang masih terdiam dengan kening mengernyit.
"Apa yang kau lakukan?"
"Sedang menikmati manik mata indahmu? Apa kau tahu, jika aku sudah sangat lama merindukanmu?" tanya pria itu tak mengalihkan pandangan.
"Omong kosong. Anda berbicara seolah sudah sangat mengenalku."
Aku memang mengenalmu, Pavel. Ini aku, Tin. Tidakkah kau mengingatku? Ada apa denganmu? Apa selama ini kau memang tak pernah mengingatku? Apa aku benar-benar tak ada artinya bagimu?
Wajah pria itu seketika muram. Fakta jika Omega itu tak mengenalinya cukup membuat hatinya terluka dan sakit. "Maafkan aku, aku sungguh tak berniat masuk kesini tanpa seizinmu, aku benar-benar berpikir jika sudah memasuki sebuah toilet, maaf."
"Anda tak perlu meminta maaf, Tuan. Bagaimana dengan tawaranku?"
"Aku tidak mungkin melakukan hal itu padamu, aku...."
"Bukankah Anda terlalu naif, Tuan? Anda lupa jika sedang berada di mana sekarang?" tanya sang Omega, seolah ingin mengingatkan pria itu sekali lagi, jika ia sedang berada di sebuah tempat prostitusi sekarang, dan bercinta dengan salah satu Omega di sana bukanlah hal yang tabuh.
"Apa kau benar benar mengingikan itu?"
---
KAMU SEDANG MEMBACA
INSIDE
Romance"INSIDE" Menceritakan tentang mereka yang mencari kebahagiaan, menghadapi dilema, rasa sakit dan penyesalasan.