Menjelang sore, Albern berkendara menujuh ke Mansiaon, dengan Tin yang duduk disampingnya sambil tersenyum sejak tadi.
"Sepertinya layar ponselmu jauh lebih menarik sekarang," ucap Albern dengan pandangan yang masih fokus kedepan.
"Yah, kau benar," balas Tin yang hanya mengangguk.
Namun, tak mengalihkan pandangan dari layar ponselnya. Dan terus melihat satu pesan teks dari sang istri yang di penuhi emot hati. Bahkan hanya dengan satu emot love berwarnah merah saja, Tin merasa ingin terbang, saking bahagianya.
"Oh iya, Albern. Di mana Mayron sekarang? Aku sudah cukup lama tak melihatnya. Apa kalian berdua bertengkar?" tanya Tin, memasukkan ponsel di dalam saku jasnya. Sedang Albern hanya terdiam.
Kembali mengingat perdebatan dirinya dan Mayron beberapa hari lalu. Tak hanya itu, pikirannya juga terus tertujuh kepada Oskan, yang entah mengapa terlihat begitu dekat dengan Mayron.
Apa Mayron bersama Reverie sekarang? Berniat menghibur sahabatnya yang sudah di sakiti oleh mantan kekasihnya?
"Albern, sesuatu telah terjadi?" tanya Tin membuyarkan lamunan Albern.
"Aku bertemu Mayron beberapa hari lalu, dan dia baik-baik saja," balas Albern seadanya. Tak mengatakan jika Mayron sedang bersama siapa saat itu.
"Mayron tak pernah berkunjung ke mansion, apa dia tak tahu jika Pew di mansion sekarang?"
"Aku rasa Mayron mengetahui itu."
"Lalu mengapa ia tak pernah berkunjung. Apa kalian benar baik-baik saja?" tanya Tin tak berhenti khawatir.
"Ada apa? Kau terdengar mencurigaiku. Memang apa yang kau pikirkan sekarang?"
"Hanya kau yang bisa merubah mood Mayron, aku tahu itu, Albern."
"Kau tak mengetahui segalanya, Tuan muda."
"Benarkah? Lalu apa yang tidak aku ketahui?" tanya Tin yang masih sangat penasaran.
Ia pun bisa merasakan, jika akhir-akhir ini ada yang berbeda dari Albern. Sebab pria itu menjadi sangat pendiam, sensitif, dan mudah marah.
"Aku tak melakukan apa pun, aku hanya mengatakan jika tak bisa bersamanya."
"Apa?"
"Seperti yang kau dengar, aku hanya sedang berusaha untuk jujur agar tak membuatnya berharap banyak padaku."
"Wuah ... kau benar-benar berhasil membuat hati Mayron patah dan hancur lebur. Kau pria yang kejam, Albern."
Albern menghembuskan napas kasar, tak menyukai kata 'kejam' yang keluar dari mulut Tin. Meski ia mulai memikirkan kata itu.
Apa benar yang di katakan Tin? Jika ia adalah pria kejam yang sudah menghancurkan hati wanita sebaik Mayron. Lalu apa yang harus ia lakukan jika hatinya memang benar-benar tak bisa menerima cinta wanita itu? Apa ia harus menutupi perasaan yang sesungguhnya dan menerima wanita itu meski tak ada cinta di hatinya?
Bukankah ia akan lebih menyakiti hati Mayron?
"Dengan terus berpura-pura untuk mencintainya, bukankah itu akan semakin membuatnya terluka pada akhirnya?"
"Yah, kau benar. Aku hanya memikirkan Mayron."
"Kenapa?"
"Karena kau mungkin akan berakhir menikahi Zein, kau tak mungkin lupa dengan kesepakatan di antara kau dan ayah, 'kan?"
Albern menarik napas kuat. Ia lupa jika Aroon sangat ingin menikahkan dirinya dengan Zein.
"Oh ayolah, ibumu tak akan mengikhlaskan Zein untuk aku nikahi," balas Albern.
KAMU SEDANG MEMBACA
INSIDE
Romance"INSIDE" Menceritakan tentang mereka yang mencari kebahagiaan, menghadapi dilema, rasa sakit dan penyesalasan.